kimia is the best

kimia is the best
kimia

Selasa, 23 November 2010

pembangkit listrik tenaga energi laut

Sumber Energi Arus : Alternatif Pengganti BBM, Ramah Lingkungan, dan Terbarukan Erwandi (Laboratorium Hidrodinamika Indonesia, BPP Teknologi) Saat ini sebagian besar energi yang digunakan rakyat Indonesia berasal dari bahan bakar fosil, yaitu bahan bakar minyak, gas, dan batu bara. Kerugian penggunaan bahan bakar fosil ini selain merusak lingkungan, juga tidak terbarukan (nonrenewable) dan tidak berkelanjutan (unsustainable).
Bahan bakar fosil semakin habis dan sebentar lagi Indonesia akan menjadi pengimpor BBM. Beban kerugian yang disangga bangsa Indonesia semakin berkali lipat dengan naiknya harga BBM di pasaran dunia sampai lebih dari 60 dollar AS per barrel. Untuk mengatasi kerugian akibat kenaikan harga BBM tersebut, pemerintah telah melakukan langkah-langkah penghematan dengan cara mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2005.
Kebijaksanaan Untuk mendukung kebijaksanaan pemerintah, perlu dilakukan langkah-langkah pencarian sumber-sumber energi alternatif yang ramah lingkungan serta terbarukan. Berdasarkan tempatnya, ada dua sumber energi alternatif, yakni sumber energi alternatif yang berasal dari daratan dan sumber energi yang berasal dari laut.
Untuk Jawa yang padat penduduknya, pembangunan fasilitas pembangkit listrik dengan energi alternatif yang berasal dari daratan kemungkinan akan mengalami kendala peruntukan lahan. Sebagai negara kepulauan yang besar, laut Indonesia menyediakan sumber energi alternatif yang melimpah. Sumber energi itu meliputi sumber energi yang terbarukan dan tak terbarukan.
Selain minyak bumi di lepas pantai dan laut dalam, sumber energi yang tak terbarukan yang berasal dari laut dalam di wilayah Indonesia adalah methane hydrate. Methane hydrate adalah senyawa padat campuran antara gas methan dan air yang terbentuk di laut dalam akibat adanya tekanan hidrostatik yang besar dan suhu yang relatif rendah dan konstan di kedalaman lebih dari 1.000 meter.
Sumber energi yang terbarukan dari laut adalah energi gelombang, energi yang timbul akibat perbedaan suhu antara permukaan air dan dasar laut (ocean thermal energy conversion/OTEC), energi yang disebabkan oleh perbedaan tinggi permukaan air akibat pasang surut dan energi arus laut. Dari keempat energi ini hanya energi gelombang yang tidak dapat diprediksi kapasitasnya dengan tepat karena keberadaan energi gelombang sangat bergantung pada cuaca.
Sedangkan OTEC, energi perbedaan tinggi pasang surut serta energi arus laut dapat diprediksi kapasitasnya dengan tepat di atas kertas. Wilayah Indonesia Untuk wilayah Indonesia, energi yang punya prospek bagus adalah energi arus laut. Hal ini dikarenakan Indonesia mempunyai banyak pulau dan selat sehingga arus laut akibat interaksi Bumi-Bulan-Matahari mengalami percepatan saat melewati selat-selat tersebut.
Selain itu, Indonesia adalah tempat pertemuan arus laut yang diakibatkan oleh konstanta pasang surut M2 yang dominan di Samudra Hindia dengan periode sekitar 12 jam dan konstanta pasang surut K1 yang dominan di Samudra Pasifik dengan periode lebih kurang 24 jam. M2 adalah konstanta pasang surut akibat gerak Bulan mengelilingi Bumi, sedangkan K1 adalah konstanta pasang surut yang diakibatkan oleh kecondongan orbit Bulan saat mengelilingi Bumi. Interaksi Bumi-Bulan diperkirakan menghasilkan daya energi arus pasang surut setiap harinya sebesar 3.17 TW, lebih besar sedikit dari kapasitas pembangkit listrik yang terpasang di seluruh dunia pada tahun 1995 sebesar 2.92 TW (Kantha & Clayson, 2000). Namun, untuk wilayah Indonesia potensi daya energi arus laut tersebut belum dapat diprediksi kapasitasnya.
Keuntungan penggunaan energi arus laut adalah selain ramah lingkungan, energi ini juga mempunyai intensitas energi kinetik yang besar dibandingkan dengan energi terbarukan yang lain. Hal ini disebabkan densitas air laut 830 kali lipat densitas udara sehingga dengan kapasitas yang sama, turbin arus laut akan jauh lebih kecil dibandingkan dengan turbin angin. Keuntungan lainnya adalah tidak perlu perancangan struktur yang kekuatannya berlebihan seperti turbin angin yang dirancang dengan memperhitungkan adanya angin topan karena kondisi fisik pada kedalaman tertentu cenderung tenang dan dapat diperkirakan.
Kekurangan dari energi arus laut adalah output-nya mengikuti grafik sinusoidal sesuai dengan respons pasang surut akibat gerakan interaksi Bumi-Bulan-Matahari. Pada saat pasang purnama, kecepatan arus akan deras sekali, saat pasang perbani, kecepatan arus akan berkurang kira-kira setengah dari pasang purnama. Kekurangan lainnya adalah biaya instalasi dan pemeliharaannya yang cukup besar. Kendati begitu bila turbin arus laut dirancang dengan kondisi pasang perbani, yakni saat di mana kecepatan arus paling kecil, dan dirancang untuk bekerja secara terus-menerus tanpa reparasi selama lima tahun, maka kekurangan ini dapat diminimalkan dan keuntungan ekonomisnya sangat besar.
Hal yang terakhir ini merupakan tantangan teknis tersendiri untuk para insinyur dalam desain sistem turbin, sistem roda gigi, dan sistem generator yang dapat bekerja secara terus-menerus selama lebih kurang lima tahun. Dari penelitian PL Fraenkel (J Power and Energy Vol 216 A, 2002) lokasi yang ideal untuk instalasi pembangkit listrik tenaga arus mempunyai kecepatan arus dua arah (bidirectional) minimum 2 meter per detik. Yang ideal adalah 2.5 m/s atau lebih. Kalau satu arah (sungai/arus geostropik) minimum 1.2-1.5 m/s. Kedalaman tidak kurang dari 15 meter dan tidak lebih dari 40 atau 50 meter.
Relatif dekat dengan pantai agar energi dapat disalurkan dengan biaya rendah. Cukup luas sehingga dapat dipasang lebih dari satu turbin dan bukan daerah pelayaran atau penangkapan ikan. Simulasi numerik Simulasi numerik potensi daya listrik di beberapa daerah di Indonesia telah dilakukan oleh Laboratorium Hidrodinamika Indonesia BPP Teknologi. Gambar di bawah ini merupakan contoh hasil simulasi potensi daya listrik di selat Bali dan Lombok dengan menggunakan program MEC-Model buatan Research Committee of Marine Environment,
The Society of Naval Architects of Japan. Dengan asumsi efisiensi turbin sebesar 0,593 dan menggunakan kecepatan arus rata-rata selama satu periode pasang surut (residual current) untuk tidal constant M2, potensi daya listrik di beberapa tempat di selat Bali pada kedalaman 12 meter, kondisi pasang perbani, dapat mencapai 300 kW bila menggunakan daun turbin dengan diameter 10 meter. Untuk selat Badung dan selat Lombok bagian selatan potensi energinya berkisar 80-90 kW. Hasil numerik tersebut dapat digunakan sebagai dasar pemilihan lokasi untuk instalasi turbin arus.
Hasil ini masih bersifat global dan kasar. Untuk mengetahui karakteristik kecepatan arus secara lebih detail di tempat-tempat terpilih, perlu diadakan survei lapangan atau simulasi numerik detail dengan menggunakan program khusus Full-3D yang juga disediakan oleh MEC-Model program. Ada dua jenis rotor (daun turbin) untuk konversi energi kinetik, yang pertama adalah jenis rotor yang mirip dengan kincir angin. Tipe ini sering disebut juga dengan turbin dengan poros horizontal. Yang kedua adalah cross-flow rotor atau rotor Darrieus.
Ini adalah tipe turbin dengan poros vertikal karena porosnya tegak lurus dengan arah arus. Menurut PL Fraenkel, rotor Darrieus mempunyai beberapa kekurangan, rotor tidak dapat langsung berputar, kalau sudah berputar sulit dihentikan bila ada keadaan darurat, dan butuh ongkos tambah untuk konstruksinya. Untuk mempertinggi efisiensi, kedua tipe rotor ini biasanya ditambahi dengan nozzle, duct, atau venturi untuk mempercepat aliran arus yang masuk ke piringan daun rotor.
Dewasa ini penelitian tentang teknologi konversi arus laut menjadi energi listrik sedang berlangsung sangat gencar. Inggris sudah memasang prototipe skala penuh dengan kapasitas 300 MW di Foreland Point, North Devon, pada Mei 2003. Norwegia juga telah melakukan instalasi di Kvalsundet Hammerfest dengan kapasitas 700 MW. Jepang, dengan menggunakan program MEC-Model, melakukan studi kelayakan pemasangan turbin di Selat Kanmon antara Pulau Honshu dan Kyushu.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia seharusnya mulai meneliti secara intensif potensi energi arus laut ini dan memanfaatkannya untuk menghadapi bencana krisis energi karena masalah kenaikan harga dan langkanya BBM.
Gelombang Laut sebagai Energi Terbarukan untuk Pembangkit Listrik
Bila kita mendengar kata-kata gelombang laut maka yang muncul di pikiran kita adalah tentang gelombang Tsunami yang pernah melanda Aceh.
Sekarang telah banyak pembangkit listrik yang sudah dibangun. Perencanaan pembangunan PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) yang rencananya akan dibangun di Kudus dan menuai penolakan yang sangat besar, masyarakat sekitar tidak setuju akan adanya pembangunan tersebut. Dikhawatirkan akan membawa radiasi nuklir yang berbahaya bagi kehidupan mereka. Adapun juga perencaan pembangunan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) yang rencananya akan dibangun di Pemalang
Energi Gelombang Laut
Energi gelombang laut adalah satu potensi laut dan samudra yang belum banyak diketahui masyarakat umum adalah potensi energi laut dan samudra untuk menghasilkan listrik. Negara yang melakukan penelitian dan pengembangan potensi energi samudra untuk menghasilkan listrik adalah Inggris, Francis dan Jepang.
Secara umum, potensi energi samudra yang dapat menghasilkan listrik dapat dibagi kedalam 3 jenis potensi energi yaitu energi pasang surut (tidal power), energi gelombang laut (wave energy) dan energi panas laut (ocean thermal energy). Energi pasang surut adalah energi yang dihasilkan dari pergerakan air laut akibat perbedaan pasang surut. Energi gelombang laut adalah energi yang dihasilkan dari pergerakan gelombang laut menuju daratan dan sebaliknya. Sedangkan energi panas laut memanfaatkan perbedaan temperatur air laut di permukaan dan di kedalaman. Meskipun pemanfaatan energi jenis ini di Indonesia masih memerlukan berbagai penelitian mendalam, tetapi secara sederhana dapat dilihat bahwa probabilitas menemukan dan memanfaatkan potensi energi gelombang laut dan energi panas laut lebih besar dari energi pasang surut.
Pada dasarnya pergerakan laut yang menghasilkan gelombang laut terjadi akibat dorongan pergerakan angin. Angin timbul akibat perbedaan tekanan pada 2 titik yang diakibatkan oleh respons pemanasan udara oleh matahari yang berbeda di kedua titik
tersebut. Mengingat sifat tersebut maka energi gelombang laut dapat dikategorikan sebagai energi terbarukan.
Gelombang laut secara ideal dapat dipandang berbentuk gelombang yang memiliki ketinggian puncak maksimum dan lembah minimum. Pada selang waktu tertentu, ketinggian puncak yang dicapai serangkaian gelombang laut berbeda-beda, bahkan ketinggian puncak ini berbeda-beda untuk lokasi yang sama jika diukur pada hari yang berbeda. Meskipun demikian secara statistik dapat ditentukan ketinggian signifikan gelombang laut pada satu titik lokasi tertentu.
Ketinggian dan periode gelombang tergantung kepada panjang fetch pembangkitannya. Fetch adalah jarak perjalanan tempuh gelombang dari awal pembangkitannya. Fetch ini dibatasi oleh bentuk daratan yang mengelilingi laut. Semakin panjang jarak fetchnya, ketinggian gelombangnya akan semakin besar. Angin juga mempunyai pengaruh yang penting pada ketinggian gelombang. Angin yang lebih kuat akan menghasilkan gelombang yang lebih besar.
Gelombang yang menjalar dari laut dalam (deep water) menuju ke pantai akan mengalami perubahan bentuk karena adanya perubahan kedalaman laut. Apabila gelombang bergerak mendekati pantai, pergerakan gelombang di bagian bawah yang berbatasan dengan dasar laut akan melambat. Ini adalah akibat dari friksi/gesekan antara air dan dasar pantai. Sementara itu, bagian atas gelombang di permukaan air akan terus melaju. Semakin menuju ke pantai, puncak gelombang akan semakin tajam dan lembahnya akan semakin datar. Fenomena ini yang menyebabkan gelombang tersebut kemudian pecah.
IMI Dorong Energi Laut untuk Minimalkan Perubahan Iklim
Pada negara Indonesia juga masyarakat sudah ingin menggunakan energi yang dimiliki oleh kelautan Indonesia, sehingga perlu menggali potensi energi laut (Ocean Energy) untuk meminimlakan dampak perubahan iklim dan pemanasan global yang saat ini begitu terasa sangat menyengat, kata Direktur Indonesia Maritim Institute (IMI) Y Paonganan.
Dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis, Paonganan mengatakan, potensi energi laut yang bisa dimanfaatkan di Indonesia adalah energi gelombang laut (wave energy), energi arus laut, ocean thermal energy, tidal energy serta biofuel energy dari marine algae.
Penggunaan ocean energy sangat ramah lingkungan sehingga bisa meminimalkan resiko terjadinya perubahan iklim dan pemanasan global.
Menurut doktor ilmu kelautan dari IPB itu, penggunaan energi berbasis fosil saat ini memicu peningkatan gas karbondioksida di udara yang akan berimplikasi ke perubahan iklim dan pemanasan global, sehingga sudah saatnya Indonesia menggali potensi energi laut. Potensi energi laut di Indonesia sangat besar, apalagi negara kita ini adalah negara kepulauan yang luas wilayahnya 75 persen berupa laut.
Paonganan menyayangkan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia tidak bisa memanfaatkan segala potensi yang ada di laut.
Oleh karena itu, jika ingin menjadikan sebuah negara Maritim yang besar dan kuat, sudah saatnya pemerintah Indonesia memprioritaskan pembangunan berbasis maritim, sehingga Indonesia akan menjadi negara besar yang tidak lagi dianggap "remeh" oleh bangsa lain.

Perubahan bentuk gelombang yang menjalar mendekati pantai
Bila waktu yang diperlukan untuk terjadi sebuah gelombang laut dihitung dari data jumlah gelombang laut yang teramati pada sebuah selang tertentu, maka dapat diketahui potensi energi gelombang laut di titik lokasi tersebut. Potensi energi gelombang laut pada satu titik pengamatan dalam satuan kw per meter berbanding lurus dengan setengah dari kuadrat ketinggian signifikan dikali waktu yang diperlukan untuk terjadi sebuah gelombang laut. Berdasarkan perhitungan ini dapat diprediksikan berbagai potensi energi dari gelombang laut di berbagai tempat di dunia. Dari data tersebut, diketahui bahwa pantai barat Pulau Sumatera bagian selatan dan pantai selatan Pulau Jawa bagian barat berpotensi memiliki energi gelombang laut sekitar 40kw/m.
Pada dasarnya prinsip kerja teknologi yang mengkonversi energi gelombang laut menjadi energi listrik adalah mengakumulasi energi gelombang laut untuk memutar turbin generator. Karena itu sangat penting memilih lokasi yang secara topografi memungkinkan akumulasi energi. Meskipun penelitian untuk mendapatkan teknologi yang optimal dalam mengkonversi energi gelombang laut masih terus dilakukan, saat ini, ada beberapa alternatif teknologi yang dapat dipilih.
Alternatif teknologi yang diperidiksikan tepat dikembangkan di pesisir pantai selatan Pulau Jawa adalah teknologi Tapered Channel (Tapchan).
Prinsip teknologi ini cukup sederhana, gelombang laut yang datang disalurkan memasuki sebuah saluran runcing yang berujung pada sebuah bak penampung yang diletakkan pada sebuah ketinggian tertentu. Air laut yang berada dalam bak penampung dikembalikan ke laut melalui saluran yang terhubung dengan turbin generator penghasil energi listrik. Adanya bak penampung memungkinkan aliran air penggerak turbin dapat beroperasi terus menerus dengan kondisi gelombang laut yang berubah-ubah. Teknologi ini tetap memerlukan bantuan mekanisme pasang surut dan pilihan topografi garis pantai yang tepat. Teknologi ini telah dikembangkan sejak tahun l985.
Alternatif teknologi pembangkit tenaga gelombang laut yang lebih banyak dikembangkan adalah teknik osilasi kolom air (the oscillating water column). Proses pembangkitan tenaga listrik dengan teknologi ini melalui 2 tahapan proses. Gelombang laut yang datang menekan udara pada kolom air yang diteruskan ke kolom atau ruang tertutup yang terhubung dengan turbin generator. Tekanan tersebut menggerakkan turbin generator pembangkit listrik. Sebaliknya, gelombang laut yang meninggalkan kolom air diikuti oleh gerakan udara dalam ruang tertutup yang menggerakkan turbin generator pembangkit listrik.

Variasi prinsip teknologi ini dikembangkan di Jepang dengan nama might whale technology. Di Skotlandia, Inggris Raya, telah dibangun pembangkit tenaga gelombang laut yang menggunakan teknologi ini. Pembangkit yang selesai dibangun pada tahun 2000 ini dilengkapai listrik sampai 500 kW.
Selain itu, di Denmark dikembangkan pula teknologi pembangkit tenaga gelombang laut yang disebut wave dragon, prinsip kerjanya mirip dengan tapered channel. Perbedaannya pada wave dragon, saluran air dan turbin generator diletakkan di tengah bak penampung sehingga memungkinkan pembangkit dipasang tidak di pantai.
Pembangkit-pembangkit tersebut kemudian dihubungkan dengan jaringan transmisi bawah laut ke konsumen. Hal ini menyebabkan biaya instansi dan perawatan pembangkit ini mahal. Meskipun demikian pembangkit ini tidak menyebabkan polusi dan tidak memerlukan biaya bahan bakar karena sumber penggeraknya energi alam yang bersifat terbarukan.
Dari sejumlah peralatan yang telah dipersiapkan, dibuat alat untuk mentransformasi energi gelombang laut menjadi energi listrik. Dari alat ini pula dilakukan pengukuran tegangan listrik yang dihasilkan alat transformasi energi laut menjadi energi listrik. Caranya, dinamo yang berfungsi mengubah energi mekanik menjadi energi listrik dihubungkan dengan tahanan dan voltmeter melalui kabel.
Selain itu, tegangan listrik yang dihasilkan generator diukur dengan voltmeter, sedangkan untuk mengetahui kuat arus yang dihasilkan dapat dilakukan dengan menggunakan data tegangan dan hambatan yang ada.
Dari percobaan yang dilakukan diperoleh data periode datangnya gelombang laut sebesar 5,56 detik. Dengan data ini dapat dibuat suatu alat yang bisa mengubah energi gelombang laut menjadi energi listrik. Data periode tersebut digunakan untuk mengetahui waktu yang diperlukan oleh alat untuk tetap mempertahankan putaran selama belum datang gelombang berikutnya.
Dari alat percobaan yang dirancang, dapat dilihat adanya transformasi energi dari energi gelombang laut menjadi gelombang mekanik, lalu menjadi energi listrik. Besarnya energi listrik yang dihasilkan akan sebanding dengan energi gelombang laut yang mengenai alat.
Percobaan yang dilakukan diperoleh tegangan listrik rata-rata yang dihasilkan sebesar 2,151 volt dan rata-rata tegangan minimal yang dihasilkan adalah 1,457 volt. Setelah dilakukan beberapa perhitungan, maka didapatkan besar arus listrik yang dihasilkan adalah 0,0036 amper dan besar daya yang dihasilkan adalah 0,0065 watt. Dengan mengalikan daya dengan waktu maka diperoleh energi sebesar 0,0065 joule. Hal ini berarti bahwa energi yang dihasilkan untuk setiap detiknya adalah 0,0065 joule.
Untuk memperbesar energi yang dapat dihasilkan per satuan waktu, dapat dilakukan dengan cara memperluas bidang yang dikenai oleh gelombang laut. Selain itu, memperbesar ukuran dinamo (alat pengubah energi mekanik menjadi energi listrik), dan memperbesar putaran roda pemutar dinamo.
Energi yang dihasilkan itu, menurut kedua siswi ini, memiliki kelebihan. Antara lain, tidak menimbulkan polusi karena tidak ada limbahnya, energi gelombang laut tidak akan habis, dan sistem transformasi energi gelombang laut menjadi energi listrik relatif sederhana.
Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa energi gelombang laut dapat diubah menjadi energi listrik melalui suatu mekanisme tranformasi energi. Dinamo adalah komponen utama dalam mengubah energi gelombang laut menjadi energi listrik. Tenaga listrik yang dihasilkan dari sistem yang digunakan sebesar 1,806 volt. Tegangan ini dapat diperbesar.
Dalam tahun 2008 saja, harga minyak terkoreksi sangat tajam dalam jangka waktu yang tidak terduga. Bulan Juli 2008 harga minya hampir menyentuh 150 USD dan terkoreksi hingga ke angka sekitar 30 USD dalam bulan Desember 2008. Di sisi lain, angka proyeksi peningkatan kebutuhan (demand growth) bahan bakar minyak mencapai 1,6 % per tahun dengan proyeksi kebutuhan minyak sekitar 98 juta barrel/hari (2015) menjadi 188 juta barrel/hari (2030). Ironisnya, kepemilikan sumberdaya minyak hanya dimiliki oleh segelintir negara di dunia seperti Rusia, negara di Timur tengah serta beberapa Amerika Selatan.
Menyadari hal tersebut, banyak negara lantas berpaling pada energi alternatif untuk menggerakkan perekonomiannya. Peluang pasar bagi bioenergi cair yang diproduksi dari tanaman penghasil ethanol luar biasa besarnya. Ini kemudian memicu kompetisi antar negara dalam pengembangan bioenergi berbasis bahan pangan. Brasil mengkonversi 50 persen produksi tebu untuk menghasilkan ethanol untuk keperluan domestik dan ekspor. Amerika Serikat memproduksi ethanol besar-besaran sekitar 23 persen dari produksi jagung sesuai dengan Energy Policy Act 2005. Uni-Eropa juga tak ketinggalan mensubsidi minyak nabati untuk menghasilkan biodiesel dengan target 5,75 persen pangsa pasar bahan bakar alternatif tahun 2010.
Kebijakan Energi Dunia
Pemerintah Indonesia menetapkan Kebijakan Energi Nasional tahun 2006 dengan target proporsi pengurangan penggunaan energi minyak dari 52 % menjadi 20% pada tahun 2025. Kebijakan ini didasari kenyataan kilang minyak dalam negeri saat ini hanya sanggup menyetor kapasitas 900 ribu barel per hari. Akibatnya, sekitar 35% bahan baku kilang dan 30% konsumsi BBM dipenuhi dari impor. Pemanfaatan energi berbasis fosil Indonesia diperkirakan kurang dari 20 tahun lagi. Inilah yang kemudian mengakhiri kiprah aktif Indonesia di OPEC sejak tahun 1970an.
Indonesia menargetkan tahun 2010 biofuel menggantikan sekitar 10 persen dari konsumsi bahan bakar konvensional. Pengembangan biofuel juga diharapkan bisa memberikan tiga juta lapangan kerja bagi masyarakat sampai tahun 2010, penghematan devisa negara sampai 10 miliar dolar AS serta pemanfaatan 5 juta hektare lahan kritis. Sebagai konsekuensi logis, solusi jangka panjang juga harus disediakan mengantisipasi kompetisi pemanfaatan lahan antara produksi bioenergi dan tanaman pangan.
Negara lain seperti Amerika Serikat, Jepang dan Kanada mentargetkan mulai tahun 2025 bahan bakar hayati (biofuel) bisa diproduksi dari budidaya cepat rumput laut mikro yang tumbuh diperairan tawar/asin. Keuntungan yang dapat diperoleh adalah tak butuh traktor seperti didarat, tanpa penyemaian benih, gas CO2 yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan panen yang terus menerus mengingat singkatnya waktu tanam rumput laut yang hanya 1 minggu. Penelitian terakhir Tokyo University of Marine and Technology dan Mitsubishi Research Institute di Jepang menghasilkan sebuah skala produksi bioethanol rumput laut budidaya seluas 10.000 hektar di perairan Jepang. Peneliti institusi tersebut mengklaim dapat menghasilkan sekitar 20 juta kiloliter bioethanol atau sekitar 30% total minyak yang dikonsumsi Jepang per tahun. Rencana produksi rumput laut penghasil ethanol skala besar ini juga diklaim dapat membantu membersihkan perairan laut Jepang dari polutan industri.
Potensi Rumput Laut
Ditinjau secara biologi, rumput laut (algae/seaweed) merupakan kelompok tumbuhan yang berklorofil yang terdiri dari satu atau banyak sel dan berbentuk koloni. Rumput laut mengandung bahan organik seperti polisakarida, hormon, vitamin, mineral dan juga senyawa bioaktif. Sejauh ini, pemanfaatan rumput laut sebagai komoditi perdagangan atau bahan baku industri masih relatif kecil jika dibandingkan dengan keanekaragaman jenis rumput laut yang ada di Indonesia. Padahal komponen kimiawi yang terdapat dalam rumput laut sangat bermanfaat bagi bahan baku industri makanan, kosmetik, farmasi dan lain-lain.
Berbagai jenis rumput laut seperti Griffithsia, Ulva, Enteromorpna, Gracilaria, Euchema, dan Kappaphycus telah dikenal luas sebagai sumber makanan seperti salad rumput laut atau sumber potensial karagenan yang dibutuhkan oleh industri gel. Begitupun dengan Sargassum, Chlorela/Nannochloropsis yang telah dimanfaatkan sebagai absorben logam berat, Osmundaria, Hypnea, dan Gelidium sebagai sumber senyawa bioaktif, Laminariales atau Kelp dan Sargassum Muticum mengandung senyawa alginat untuk industri farmasi. Pemanfaatan jenis rumput laut lainnya adalah sebagai penghasil bioethanol dan biodiesel ataupun sebagai pupuk organik. Rumput laut dipandang sebagai bio-energi pengganti BBM yang dipercaya jauh lebih ekonomis ketimbang tanaman jarak, minyak kelapa sawit, dan ethanol dari jagung. Penulis biofuel Ruth Morris (2009) bahkan menyebut laut dengan segala keunggulannya sebagai senjata rahasia melawan kecenderungan perubahan iklim (climate change).
Indonesia Outlook
Indonesia merupakan raksasa tidur dalam potensi rumput laut. Dari potensi areal budidaya laut seluas 24,5 juta ha, sekitar 1.110.900 ha diantaranya merupakan areal yang potensial untuk budidaya rumput laut. Luas efektif perairan untuk pengembangan budidaya rumput laut diperkirakan mencapai 222.180 ha (20% dari luas areal potensial). Produksi rumput laut nasional tahun 2005 mencapai 910.636 ton, dan meningkat 1.079.850 ton pada tahun 2006. Angka ini cukup signifikan dalam mencapai target yang ditetapkan sebesar 933,000 ton tahun 2005, dan 1.120.000 ton pada tahun 2006. Target produksi budidaya rumput laut sendiri pada tahun 2009 sebesar 1.900.000 ton (Ditjen Perikanan Budidaya, 2008).
Institusi seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP-RI), BPPT, LIPI, dan berbagai LSM telah lama mengelaborasi penggunaan rumput laut sebagai sumber energi. Meskipun demikian, efektivitas, efisiensi dan replikasi penggunaan biofuel pada skala massal masih menjadi kendala. Mengantisipasi hal tersebut, KKP-RI sejak tahun 2008 menggandeng Korea Institute of Industrial Technology (KITECH) dalam capacity building teknologi pemanfaatan rumput laut sebagai energi alternatif, berikut menyiapkan road map development pengembangan rumput laut Indonesia. Kerjasama ini menarik dicermati guna memperkecil gap ketersediaan teknologi dan upaya replikasi skala massal. Perusahaan raksasa Exxon Mobil di Amerika Serikat misalnya telah menggelontorkan dana sekitar USD 600 million (Rp.5.4 trilyun) dalam riset bioteknologi mencari pengganti energi fosil. Dalam konteksi ini, kiprah dunia swasta Indonesia sangat dinantikan.
Sudah waktunya kebijakan energi alternatif Indonesia diaplikasikan dengan percepatan-percepatan dalam implementasinya. Perbaikan infrastruktur, manajemen kelembagaan, penelitian, fasilitasi kredit, serta peningkatan akses pasar dengan dukungan resource based technology merupakan sedikit dari sekian banyak PR (pekerjaan rumah) stakeholders rumput laut. Dengan keunggulan komparatif sumberdaya alam Indonesia harapan menjadi bangsa terdepan pengguna energi ramah lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan optimis dapat diwujudkan.
Otonomi Pengelolaan Sumberdaya Laut

PENGALAMAN pembangunan bangsa-bangsa di dunia dan bangsa kita sendiri selama kurun waktu PJP I menunjukkan, bahwa paradigma (pola) pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan aspek pemerataan dan kesesuaian sosial-budaya serta kelestarian daya dukung ligkungan secara proporsional, pada akhirnya akan bermuara pada kegagalan.
Wujud dari kegagalan tersebut dapat berupa penurunan atau terhentinya pertumbuhan ekonomi (seperti yang terjadi di negara bekas Uni Soviet), disintegrasi dan keresahan sosial (seperti Indonesia dan Yugoslavia), atau kerusakan lingkungan yang melampaui daya dukung lingkungan kawasan (negara) sehingga sistem lingkungan beserta sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya tidak mampu lagi mendukung kiprah pembangunan dan kehidupan manusia seperti yang dialami oleh bangsa Maya di Amerika Latin dan Irak di masa lalu.
Oleh karena itu, pada bulan Juni 1992 hampir seluruh bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia, membuat kesepakatan bersama di KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brazil, bahwa paradigma pembangunan yang harus diimplementasikan sekarang dan untuk masa-masa mendatang adalah paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan berkelanjutan adalah suatu sistem pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa menurunkan atau merusak kemampuan generasi-generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi hidupnya (WCED, 1987).
Sebagai salah satu penandatangan Agenda-21, yang merupakan produk utama dari KTT Bumi tersebut, Indonesia telah membuat komitmen politik dalam GBHN 1993 bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan paradigma pembangunan yang dianut oleh bangsa Indonesia sejak saat itu. Pada tataran kebijakan, paradigma pembangunan berkelanjutan dijadikan dasar dalam penyusunan Repelita VI tentang kelautan.
Sementara itu, implementasi pembangunan berkelanjutan dalam bidang kelautan dilakukan melalui kegiatan berbagai proyek pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Di antaranya Proyek MREP (Marine Resources Evaluation and Planning Project) yang dilaksanakan di sepuluh propinsi, Proyek Pesisir (CRMP) yang dilaksanakan di tiga propinsi, Proyek Konservasi dan Pembangunan Segara Anakan (SACDP = Segara Anakan Conservation and Development Project) di dua propinsi, Proyek Coastal Zone Land Use and Management di Riau dan Proyek COREMAP (Coral Rehabilitation and Management Project) yang dilaksanakan di sepuluh propinsi, dan berbagai proyek kelautan yang dilakukan oleh sektor-sektor terkait.
Dibalik berbagai upaya tersebut, kinerja (performance) pembangunan bidang kelautan ditinjau dari perspektif pembangunan berkelanjutan belum optimal. Ekosistem pesisir dan lautan yang meliputi sekitar 2/3 dari total wilayah teritorial Indonesia dengan kekayaan alam yang sangat besar, kegiatan ekonominya hanya menyumbangkan sekitar 12% dari total GDP nasional (PKSPL-IPB, 1998). Padahal negara-negara yang memiliki wilayah dan potensi pembangunan kelautan yang jauh lebih kecil dari Indonesia, seperti Norwegia, Thailand, Philipina, dan Jepang, kegiatan ekonomi kelautannya (perikanan, pertambangan dan energi, pariwisata, perhubungan dan komunikasi, dan industri) telah memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap GDP nasional mereka, yaitu berkisar antara 25-60%. Lebih dari itu, sumberdaya perikanan kita (terutama tuna, cakalang, dan kakap laut dalam) banyak dipanen secara tidak syah (ilegal) oleh nelayan asing.
Dalam pada itu, wilayah pesisir dan laut yang padat penduduk atau tinggi intensitas pembangunannya, seperti sebagian kawasan Selat Malaka, Pantai Utara Jawa, Ujung Pandang, dan pesisir Timika, telah mengalami degradasi/tekanan lingkungan berupa pencemaran; overfishing; degradasi fisik habitat terumbu karang, mangrove, dan lainnya pada tingkat yang telah mengancam daya dukung kawasan tersebut untuk mendukung pembangunan ekonomi selanjutnya. Lebih ironis lagi, penduduk pesisir sebagian besar masih merupakan kelompok masyarakat termiskin di tanah air. Apabila kondisi semacam ini tidak segera diperbaiki, maka dikhawatirkan kita tidak dapat memanfaatkan sumberdaya kelautan bagi kepentingan pembangunan nasional secara optimal dan berkesinambungan.

Banyak faktor yang telah menyebabkan kinerja pembangunan kelautan nasional pada masa lalu belum seperti yang kita harapkan, salah satu faktor yang terpenting adalah bahwa proses perencanaan dan pengambilan keputusan tentang pembangunan kelautan sangat sentralistik dan 鍍op-down・ Oleh karena itu, lahirnya UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah yang juga mencakup kewenangan daerah dalam mengelola sumberdaya kelautan merupakan angin segar bagi pembangunan kelautan yang lebih baik.
SUMBERDAYA KELAUTAN
Secara umum, sumberdaya kelautan terdiri atas sumberdaya dapat pulih (renewable resources), sumberdaya tidak dapat pulih (non-renewable resources), dan jasa-jasa lingkungan kelautan (environmental services). Sumberdaya dapat pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, udang, rumput laut, termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut (mariculture). Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi mineral, bahan tambang/galian, minyak bumi dan gas. Sedangkan yang termasuk jasa-jasa lingkungan kelautan adalah pariwisata dan perhubungan laut. Potensi sumberdaya kelautan ini belum banyak digarap secara optimal, karena selama ini upaya kita lebih banyak terkuras untuk mengelola sumberdaya yang ada di daratan yang hanya sepertiga dari luas negeri ini.
Sumberdaya Dapat Pulih
Kita bersyukur karena selain dianugerahi dengan laut yang begitu luas, juga dianugerahi beraneka ragam sumberdaya ikan di dalamnya. Potensi lestari ikan laut sebesar 6,2 juta ton, terdiri ikan pelagis besar (975,05 ribu ton), ikan pelagis kegil (3.235,50 ribu ton), ikan demersal (1.786,35 ribu ton), ikan karang konsumsi (63,99 ribu ton), udang peneid (74,00 ribu ton), lobster (4,80 ribu ton), dan cumi-cumi (28,25 ribu ton). Potensi sumberdaya perikanan ini tersebar dalam sembilan wilayah pengelolaan (lihat gambar 1). Masing-masing (1) Selat Malaka, (2) Laut Cina Selatan, (3) Laut Jawa, (4) Selat Makasar dan Laut Flores, (5) Laut Banda, (6) Laut Seram sampai Teluk Tomini, (7) Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik, (8) Laut Arafura dan (9) Samudera Hindia (Aziz, dkk, 1998). Apabila potensi perikanan laut ini dikelola secara serius diperkirakan akan memberikan sumbangan devisa sebesar US$ 10 milyar per tahun mulai tahun 2003
Sampai pada tahun 1998, produksi perikanan laut Indonesia baru mencapai 3.616.140 ton, atau sekitar 58,5 persen dari total potensi lestari sumberdaya perikanan laut yang kita miliki. Dengan demikian masih terdapat 41 persen potensi yang tidak termanfaatkan atau sekitar 2,6 juta ton per tahun. Peluang pengembangan industri perikanan baik dalam skala kecil (perairan nusantara) maupun skala besar (ZEEI dan samudera) dapat dikelompokkan sebagai berikut: 
a. Ikan pelagis besar seperti tuna, cakalang, marlin, tongkol, tenggiri dan cucut dapat ditangkap di perairan nusantara dan samudera terutama di perairan Laut Banda, Laut Seram sampai Teluk Tomini, Laut Arafura dan Samudera Hindia yang memiliki peluang pengembangan secara lestari sekitar 321.766 ton per tahun. 
b. Ikan pelagis kecil seperti ikan layang, selar, tembang, lemuru, dan kembung dapat ditangkap di perairan nusantara antara lain di perairan Laut Cina Selatan, Selat Makasar dan Laut Flores, Laut Banda, Laut Seram sampai Teluk Tomini, Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik, Laut Arafura dan Samudera Hindia. Peluang pengembangan perikanan ikan pelagis kecil secara lestari masih sekitar 1.715 ribu ton per tahun. 
c. Ikan karang konsumsi seperti kerapu, kakap, lancam, beronang dan ekor kuning berpeluang dikembangkan di sekitar perairan Selat Makasar dan Laut Flores, Laut Banda, dan Laut Seram sampai Teluk Tomini dengan potensi lestari sekitar 31.355 ton per tahun. 
d. Kelompok lobster seperti udang karang dan barong berpeluang dikembangkan di perairan Laut Cina Selatan, Laut Banda, dan Laut Seram sampai Teluk Tomini, dengan potensi sekitar 2.400 ton per tahun.
Kawasan pesisir dan laut Indonesia yang beriklim tropis, banyak ditumbuhi hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun (seagrass), dan rumput laut (seaweed). Dengan kondisi pantai yang landai, kawasan pesisir Indonesia memiliki potensi budidaya pantai (tambak) sekitar 830.200 ha yang tersebar di seluruh wilayah tanah air dan baru dimanfaatkan untuk budidaya (ikan bandeng dan udang windu) sekitar 356.308 ha (Ditjen Perikanan 1998). Jika kita dapat mengusahakan tambak seluas 500.000 ha dengan target produksi 4 ton per ha per tahun, maka dapat diproduksi udang sebesar 2 juta ton per tahun. Dengan harga ekspor yang berlaku saat ini (US$ 10 per kilogram) maka didapatkan devisa sebesar 20 milyar dolar per tahun. Kondisi perairan yang teduh dan jernih karena terlindung dari pulau-pulau dan teluk juga memiliki potensi pengembangan budidaya laut untuk berbagai jenis ikan (kerapu, kakap, beronang, dan lain-lain), kerang-kerang dan rumput laut, yaitu masing-masing 3,1 juta ha, 971.000 ha, dan 26.700 ha. Sementara itu, potensi produksi budidaya ikan dan kerang serta rumput laut adalah 46.000 ton per tahun dan 482.400 ton per tahun. Dari keseluruhan potensi produk budidaya laut tersebut, sampai saat ini hanya sekitar 35 persen yang sudah direalisasikan. Potensi sumberdaya hayati (perikanan) laut lainnya yang dapat dikembangkan adalah ekstrasi senyawa-senyawa bioaktif (natural products), seperti squalence, omega-3, phycocolloids, biopolymers, dan sebagainya dari microalgae (fitoplankton), macroalgae (rumput laut), mikroorganisme, dan invertebrata untuk keperluan industri makanan sehat (healthy food), farmasi, kosmetik, dan industri berbasis bioteknologi lainnya. Padahal bila dibandingkan dengan Amerika Serikat yang memiliki potensi keanekaragaman hayati laut yang jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia, pada tahun 1994 sudah meraup devisa dari industri bioteknologi kelautan sebesar 40 milyar dolar.
Sumberdaya Tidak Dapat Pulih
Sumberdaya alam lainnya yang terkadung dalam laut kita adalah terdapatnya berbagai jenis bahan mineral, minyak bumi dan gas. Menurut Deputi Bidang Pengembangan Kekayaan Alam, BPPT dari 60 cekungan minyak yang terkandung dalam alam Indonesia, sekitar 70 persen atau sekitar 40 cekungan terdapat di laut. Dari 40 cekungan itu 10 cekungan telah diteliti secara intensif, 11 baru diteliti sebagian, sedangkan 29 belum terjamah. Diperkirakan ke-40 cekungan itu berpotensi menghasilkan 106,2 milyar barel setara minyak, namun baru 16,7 milyar barel yang diketahui dengan pasti, 7,5 milyar barel di antaranya sudah dieksploitasi. Sedangkan sisanya sebesar 89,5 milyar barel berupa kekayaan yang belum terjamah. Cadangan minyak yang belum terjamah itu diperkirakan 57,3 milyar barel terkandung di lepas pantai, yang lebih dari separuhnya atau sekitar 32,8 milyar barel terdapat di laut dalam. Energi non konvensional adalah sumberdaya kelautan non hayati tetapi dapat diperbaharui juga memiliki potensi untuk dikembangkan di kawasan pesisir dan lautan Indonesia. Keberadaan potensi ini di masa yang akan datang semakin signifikan manakala energi yang bersumber dari BBM (bahan bakar minyak) semakin menepis. Jenis energi ini yang berpeluang dikembangkan adalah ocean thermal energy conversion (OTEC), energi kinetik dari gelombang, pasang surut dan arus, konversi energi dari perbedaan salinitas.
Perairan Indonesia merupakan suatu wilayah perairan yang sangat ideal untuk mengembangkan sumber energi OTEC. Hal ini dimungkinkan karena salah satu syarat OTEC adalah adanya perbedaan suhu air (permukaan dengan lapisan dalam) minimal 20ーC dan intensitas gelombang laut sangat kecil dibanding dengan wilayah perairan tropika lainnya. Dari berbagai sumber pengamatan oseanografis, telah berhasil dipetakan bagian perairan Indonesia yang potensial sebagai tempat pengembangan OTEC. Hal ini terlihat dari banyak laut, teluk serta selat yang cukup dalam di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar bagi pengembangan OTEC. Salah satu pilot plant OTEC akan dikembangkan di pantai utara Pulau Bali. Sumber energi non konvensional dari laut lainnya, antara lain energi yang berasal dari perbedaan pasang surut, dan energi yang berasal dari gelombang. Kedua macam energi tersebut juga memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan di Indonesia. Kajian terhadap sumber energi ini seperti yang dilakukan oleh BPPT bekerjasama dengan Norwegia di Pantai Baron, Yogyakarta. Hasil dari kegiatan ini merupakan masukan yang penting dan pengalaman yang berguna dalam upaya Indonesia mempersiapkan sumberdaya manusia dalam memanfaatkan energi non konvensional. Sementara itu, potensi pengembangan sumber energi pasang surut di Indonesia paling tidak terdapat di dua lokasi, yaitu Bagan Siapi-Api dan Merauke, karena di kedua lokasi ini kisaran pasang surutnya mencapai 6 meter.
Jasa-jasa Lingkungan Kelautan
Dewasa ini pariwisata berbasis kelautan (wisata bahari) telah menjadi salah satu produk pariwisata yang menarik dunia internasional. Pembangunan kepariwisataan bahari pada hakekatnya adalah upaya untuk mengembangkan dan memanfaatkan objek dan daya tarik wisata bahari yang terdapat di seluruh pesisir dan lautan Indonesia, yang terwujud dalam bentuk kekayaan alam yang indah (pantai), keragaman flora dan fauna seperti terumbu karang dan berbagai jenis ikan hias yang diperkirakan sekitar 263 jenis.
Kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia pada tahun 1997 mencapai 5.185.243., meningkat sebanyak 150.771 (2,99%) terhadap tahun 1996 yaitu sebanyak 5.034.472 wisman. Pada tahun 1998 sebanyak 4.606.416 atau mengalami penurunan sebesar 11,16% terhadap tahun 1997. Sedangkan perolehan devisa dari wisman yang berkunjung ke Indonesia pada tahun 1998 diperkirakan mencapai US$4.332,09 juta atau turun 18,6% dibanding tahun 1997 yang mencapai US$5.321,46 juta (Kamaluddin, 1999).
Untuk mewujudkan pemasukan devisa dari sektor pariwisata ini diperlukan strategi tepat dan langkah-langkah yang kreatif. Hal ini dilakukan melalui penganekaragaman produk wisata seperti ekowisata bahari dan sarana pariwisata. Produk wisata antara lain dimaksudkan menjadikan Indonesia sebagai daerah wisata bahari dunia, khususnya sebagai base/detinasi kapal pesiar (cruise ship) dan sea plane. Daya tarik wisata ini perlu dukungan sarana pariwisata seperti penginapan, sarana makan minum, dan tempat belanja.
Pengembangan ekowisata bahari dengan melibatkan masyarakat di sekitar lokasi wisata telah mulai dikembangkan di bidang akomodasi yaitu pondok-pondok wisata beserta kelompok masyarakat yang berada di sekitar hotel besar yang akan menyediakan berbagai produk untuk dimanfaatkan. Keterlibatan masyarakat juga perlu dikembangkan dalam bidang sarana transportsi rakyat terutama perahu-perahu tradiosinal. Agar keterlibatan masyarakat ini optimal, maka seyogyanya dilakukan pembinaan dan peningkatan kualitasnya, baik melalui penyuluhan maupun pelatihan.
Potensi jasa lingkungan kelautan lainnya yang masih memerlukan sentuhan pendayagunaan secara profesional agar potensi ini dapat dimanfaatkan secara optimal adalah jasa transportasi laut (perhubungan laut). Betapa tidak, sebagai negara bahari ternyata pangsa pasar angkutan laut baik antar pulau maupun antar negara masih dikuasai oleh armada niaga berbendera asing. Menurut catatan Dewan Kelautan Nasional, kemampuan daya angkut armada niaga nasional untuk muatan dalam negeri baru mencapai 54,5 persen, sedangkan untuk ekspor baru mencapai 4 persen, sisanya dikuasai oleh armada niaga asing.
IMPLIKASI OTONOMI PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT
Pada masa pemerintahan orde baru, eksploitasi sumberdaya alam (termasuk sumberdaya laut) lebih banyak memberikan manfaat terhadap Pemerintah Pusat dibandingkan Pemerintah Daerah dan masyarakat setempat yang merupakan pemilik sumberdaya. Dengan dalih kepentingan nasional, sumberdaya alam yang ada di daerah dieksploitasi tanpa mengindahkan kelestarian lingkungan, dan bahkan menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan masyarakat yang ada di daerah bersangkutan. Oleh karena itu, wajar apabila muncul tuntutan dari berbagai daerah untuk memperoleh kewenangan yang lebih luas dalam mengelola sumberdaya mereka termasuk sumberdaya kelautan.
Seiring dengan napas reformasi, pemerintah membuat undang-undang pemerintahan daerah (UUPD) No. 22 tahun 1999 yang memberikan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab, yang diwujudkan dengan pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional serta adanya perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah secara proporsional sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan pemerataan. Pengaturan mendasar yang dibuat dan untuk pertama kalinya dimuat dalam peraturan perudang-undangan di Indonesia yang termuat dalam UUPD ini adalah mengenai otonomi daerah dalam pengelolaan sumberdaya kelautan, yang mencakup kewenangan sampai dengan 12 mil laut dari garis pantai pasang surut terendah untuk perairan dangkal, dan 12 mil laut dari garis pangkal ke laut lepas untuk Daerah Propinsi dan sepertiga dari batas propinsi untuk Daerah Kabupaten. Kewenangan Daerah terhadap sumberdaya kelautan meliputi kewenangan dalam: (a) eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut; (b) pengaturan kepentingan administratif; (c) pengaturan tata ruang; (d) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; dan (c) bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara khususnya di laut.
Implikasi terhadap Pengelolaan Secara Terpadu
Jika selama ini terdapat kesan bahwa Pemerintah Daerah tidak peduli terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan termasuk pesisir secara berkelanjutan sangatlah wajar mengingat manfaat terbesar dari sumberdaya tersebut tidak mereka nikmati, melainkan dinikmati oleh Pemerintah Pusat. Namun dengan adanya pemberian wewenang kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya kelautan yang berada dalam batas-batas yang telah ditetapkan, maka manfaat terbesar dari sumberdaya kelautan akan diperoleh Pemerintah Daerah dan masyarakat.
Berdasarkan otonomi daerah ini, Pemerintah Daerah sudah memiliki landasan yang kuat untuk mengimplementasikan pembangunan kelautan secara terpadu mulai dari aspek perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan dalam upaya menerapkan pembangunan kelautan secara berkelanjutan. Permasalahan yang dihadapi sekarang adalah seberapa besar keinginan dan komitmen Pemerintah Daerah untuk mengelola sumberdaya kelautan secara berkelanjutan yang berada dalam wewenang/ kekuasaannya?
Pertanyaan di atas penting mengingat tidak seluruh daerah memiliki pemahaman yang sama akan arti pentingnya pengelolaan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan. Pembangunan kelautan berkelanjutan pada dasarnya adalah pembangunan untuk mencapai keseimbangan antara manfaat dan kelestariannya sumberdaya kelautan. Artinya, bahwa sumberdaya kelautan dapat dieksploitasi untuk kemaslahatan manusia namun tidak menjadikan lingkungan termasuk sumberdaya itu sendiri menjadi rusak.
Isyarat pembangunan berkelanjutan dalam undang-undang ini seperti tersirat dalam pasal 10 ayat [1], bahwa daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai peraturan perundangan. Oleh karena itu, dalam pendayagunaan sumberdaya alam tersebut haruslah dilakukan secara terencana, rasional, optimal dan bertanggung-jawab disesuaikan dengan kemampuan daya dukungnya dan digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat serta harus memperhatikan kelestarian dan keseimbangan lingkungan hidup untuk terciptanya pembangunan yang berkelanjutan.
Salah satu permasalahan yang muncul dalam pengelolaan sumberdaya kelautan di daerah selama ini adalah adanya konflik-konflik pemanfaatan dan kekuasaan. Upaya penanganan masalah tersebut diharapkan dapat dilakukan secara reaktif dan pro-aktif. Secara reaktif, artinya Pemerintah Daerah dapat melakukan resolusi konflik, mediasi atau musyawarah dalam menangani masalah tersebut. Upaya proaktif adalah upaya penanganan konflik pengelolaan sumberdaya kelautan secara aktif dan dilakukan untuk mengantisipasi atau mengurangi potensi-potensi konflik pada masa yang akan datang. Penanganan seperti ini dilakukan melalui penataan kembali kelembagaan Pemerintah Daerah, baik dalam bentuk konsep perencanaan, peraturan perundang-undangan, sumberdaya manusia, sistem administrasi pembangunan yang mengacu pada rencana pengelolaan sumberdaya kelautan secara terpadu. Upaya ini dilakukan dengan menyusun rencana strategis (RENSTRA) pengelolaan sumberdaya kelautan terpadu dari setiap daerah propinsi, kabupaten/kota, dengan cara menyusun zonasi kawasan pesisir dan laut untuk memfokuskan sektor-sektor tertentu dalam suatu zona, menyusun rencana pengelolaan (management plan) untuk suatu kawasan tertentu atau sumberdaya tertentu. Selanjutnya membuat rencana aksi (action plan) yang memuat rencana investasi pada berbagai sektor, baik untuk kepentingan Pemerintah Daerah, swasta maupun masyarakat. Keseluruhan tahapan ini merupakan rencana strategis yang penting untuk dilakukan oleh pemerintah propinsi, kabupaten/kota dalam rangka mengelola sumberdaya kelautan secara terpadu. Namun hendaknya proses perencanaan yang dilakukan adalah perencanaan partisipatif, artinya segenap komponen daerah hendaknya dilibatkan dalam setiap proses dan tahapan perencanaan dan pengelolaan sumberdaya kelautan.

Implikasi terhadap Sumber Pembiayaan Pembangunan Sumberdaya Laut
Implikasi langsung dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 adalah beralihnya kewenangan (semula wilayah laut menjadi kewenangan pusat) dalam penentuan kebijakan pengelolaan dan pengembangannya di daerah agar menjadi keuntungan daerah berupa adanya peluang yang prospektif dalam mengelola sumberdaya (pesisir dan laut) dalam batas-batas yang telah ditetapkan. Dengan demikian, luas wilayah kewenangan Pemerintah Daerah menjadi bertambah sehingga memberikan harapan yang prospektif dan merupakan peluang bagi daerah, khususnya dalam hal:
a. Jurisdiksi dalam memperoleh nilai tambah atas Sumberdaya alam hayati dan non hayati, sumber energi kelautan disamping sumberdaya pesisir yang sangat memungkinkan untuk digali dan dioptimalkan, antara lain sumberdaya ikan, terumbu karang, rumput laut dan biota laut lainnya serta pariwisata.
b. Keleluasaan dalam pengembangan/peningkatan dan pembangunan sarana dan prasarana di kawasan perbatasan antar propinsi, untuk mendukung perkembangan dan kemajuan daerah baik secara internal maupun eksternal dalam arti lintas wilayah antar Kabupaten/Kota maupun Propinsi sehingga akan lebih memberikan kewenangan dalam pengaturan yang pada gilirannya akan memberikan nilai tambah dan peran strategis Daerah.
Sesuai dengan penjelasan pasal 9 ayat [1] UU No 22 Tahun 1999, salah satu bidang yang bersifat lintas propinsi yaitu bidang perhubungan (disamping bidang pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan), di mana pengelolaan pelabuhan regional untuk peningkatan jasa pelayanan transportasi laut dan pengaturan alur pelayaran (regional dan antar regional) kewenangannya diserahkan kepada propinsi.
Manfaat langsung lainnya dari otonomi daerah adalah Pemerintah Daerah memiliki sumber pendapatan dan pendanaan yang berasal dari (a) sharing Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan di wilayah pesisir, (b) biaya-biaya dari proses perijinan dan usaha, pajak pendapatan dan pajak lainnya, retribusi daerah, dan (c) pendapatan tidak langsung akibat pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian pembangunan kawasan pantai (desa-desa), pelabuhan, kawasan industri dan lain-lain dapat dibiayai oleh Pemerintah Daerah.
Apabila sumber pendapatan dari pemanfaatan sumberdaya kelautan belum sepenuhnya tergali dengan baik, daerah dapat membiayai pembangunan kelautan melalui dana APBD. Penggunaan dana APBD dapat digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan dan pengembangan masyarakat pantai/nelayan, pemantauan dan pengawasan pemanfaatan sumberdaya kelautan, penelitian kelautan, pengumpulan dan analisis data kelautan, serta perencanaan pembangunan kelautan.
Selain itu, pembiayaan pembangunan kelautan dapat juga diupayakan dari sumber APBN (subsidi pemerintah) maupun bantuan luar negeri yang umumnya dalam bentuk-bentuk proyek kelautan yang dimaksudkan untuk pengembangan sumberdaya kelautan daerah. Dengan Undang-undang otonomi daerah ini diharapkan proyek-proyek kelautan sudah dapat didesentralisasikan ke daerah yang nantinya menjadi sumber pembiayaan pembangunan kelautan di daerah.
Implikasi terhadap Dampak Negatif Pengelolaan Sumberdaya Laut
Optimisme seperti di atas merupakan dampak positif dari berlakunya otonomi daerah terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan. Namun demikian tidak berarti bahwa otonomi daerah tidak memiliki dampak negatif terhadap sumberdaya kelautan. Dampak negatif akan timbul, apabila Pemerintah Daerah seperti disebutkan di atas tidak memiliki persepsi yang tepat terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan. Artinya sumberdaya kelautan tidak semata-mata untuk dieksploitasi tetapi juga harus diperhatikan kelestariannya. Sebab dengan persepsi demikian, maka sumberdaya kelautan yang ada diupayakan dan dieksploitasi sebesarnya-besarnya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Eksploitasi berlebih dengan tidak mengindahkan kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam pada akhirnya akan menimbulkan masalah lainnya di kemudian hari. Jika hal ini terjadinya, maka pola pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan tidak ada bedanya dengan pola yang selama ini dilakukan. Oleh karena itu, yang perlu segera dibenahi adalah bagaimana agar Pemerintah Daerah memiliki persepsi yang tepat terhadap pemanfaatan sumberdaya kelautan yang berkelanjutan. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya kelautan, di mana beralihnya beberapa wewenang pusat ke daerah khususnya daerah perbatasan propinsi, disamping terdapat keuntungan, juga sekaligus menjadi beban dan tanggung jawab dalam pengendalian dan pengelolaannya di kawasan perbatasan antar propinsi tersebut, seperti: sumberdaya ikan yang beruaya, over-eksploitasi, degradasi lingkungan, pencemaran, dan keamanan maupun keselamatan pelayaran. Hal-hal tersebut hanya merupakan akibat lanjutan dari beberapa masalah berikut ini:
a. Belum adanya institusi/lembaga pengelola khusus yang menangani masalah pengembangan pesisir dan laut.
Implikasinya, tidak tersedianya instrumen hukum wilayah perbatasan antar propinsi tersebut (RT/RW, zonasi) untuk dapat diketahui masyarakat luas, khususnya dunia usaha yang diharapkan dapat menanamkan investasinya, serta pedoman bagi instansi di daerah (Tk I dan II) dalam pengelolaan dan pengembangan wilayah laut guna peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Keterbatasan sumberdaya manusia (aparat pemerintahan) dalam bidang pesisir dan laut yang terdidik dan terlatih.
Sehingga kendala yang dihadapi adalah kesulitan dalam pendayagunaan serta peningkatan perangkat instansi daerah yang ada terhadap pengelolaan di wilayah pesisir dan 12 mil laut serta 4 mil laut yang merupakan kewenangan kabupaten/kota.
Sebagai contoh adalah kesiapan regulasi tentang pemanfaatan lahan pesisir untuk kegiatan pembangunan (pariwisata, permukiman dan lain sebagainya), pengaturan pemanfaatan sumberdaya laut, pengaturan alur pelayaran; dan lain-lainnya.
Ketersediaan data dan informasi pesisir dan laut sangat terbatas (seberapa besar potensi pesisir dan laut yang dapat terdeteksi misalnya bahan tambang, perikanan, dan pariwisata).
b. Terbatasnya wahana dan sarana dalam penerapan dan pendayagunaan teknologi bidang kelautan. Sehingga bagaimana upaya penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi pengelolaan sumberdaya kelautan/SDL dalam usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat, belum bisa terjawab (keterbatasan kemampuan teknologi untuk dapat menggali potensi SDL).
ARAHAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT BAGI DAERAH OTONOM
Otonomi daerah sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 di atas baru merupakan landasan yang kuat untuk mencapai pengelolaan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan. Agar otonomi daerah memberikan dampak positif terhadap pengelolaan sumberdaya laut, maka perlu adanya keinginan dan komitmen Pemerintah Daerah bersama masyarakat untuk mengelola sumberdaya kelautan yang berada dalam wilayah kewenangannya secara berkelanjutan. Berikut ini beberapa arahan pengelolaan sumberdaya kelautan yang dapat diterapkan oleh Pemerintah Daerah dalam membangun sumberdaya kelautan untuk mencapai pembangunan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan.
Arahan Umum Pengelolaan Pembangunan Sumberdaya Kelautan
Sebagaimana tersirat dalam definisi pembangunan berkelanjutan di atas, bahwa pembangunan suatu kawasan akan bersifat berkesinambungan (sustainable) apabila tingkat (laju) pembangunan beserta segenap dampak yang ditimbulkannya secara agregat (totalitas) tidak melebihi daya dukung lingkungan kawasan tersebut. Sementara itu, daya dukung lingkungan suatu kawasan ditentukan oleh kemampuannya di dalam menyediakan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan bagi kehidupan makhluk hidup serta kegiatan pembangunan manusia, yaitu: (1) ketersediaan ruang (space) yang sesuai (suitable) untuk tempat tinggal/permukiman dan berbagai kegiatan pembangunan; (2) ketersediaan sumberdaya alam untuk keperluan konsumsi dan proses produksi lebih lanjut; (3) kemampuan kawasan untuk menyerap/mengasimilasi limbah sebagai hasil samping dari kegiatan manusia dan kegiatan pembangunannya; dan (4) kemampuan kawasan menyediakan jasa-jasa penunjang kehidupan (life-supporting systems) dan kenyamanan (amneties) seperti udara bersih, air bersih, siklus hidrologi, siklus hara, siklus biogekimia, dan tempat-tempat yang indah serta nyaman untuk rekreasi dan pemulihan kedamaian jiwa (spiritual renewal). Atas dasar pengertian pembangunan berkelanjutan dan daya dukung lingkungan kawasan tersebut di atas, maka secara ekologis terdapat empat persyaratan agar pengelolaan sumberdaya kelautan daerah dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan, yaitu:
Pertama, adalah bahwa di dalam suatu kawasan (jika mungkin) ditetapkan terlebih dahulu tiga mintakat/zona (zone), yaitu: (1) zona preservasi, (2) zona konservasi, dan (3) zona pemanfaatan intensif. Dalam hal ini, yang dimaksud zona preservasi adalah suatu kawasan yang mengandung atribut biologis dan ekologis yang sangat penting (vital) bagi kelangsungan hidup ekosistem beserta biota (organisme) yang hidup di dalamnya termasuk kehidupan manusia, seperti keberadaan spesies langka atau endemik, tempat asuhan dan berpijah (nursery and spawning grounds) berbagai biota laut, alur ruaya (migratory routes) ikan dan biota laut lainnya, dan sumber air tawar. Oleh karena itu, di dalam zona preservasi tidak diperkenankan adanya kegiatan pemanfaatan/pembangunan, kecuali untuk kepentingan penelitian dan pendidikan. Zona konservasi adalah kawasan yang diperbolehkan adanya kegiatan pembangunan, tetapi dengan intensitas (tingkat) yang terbatas dan sangat terkendali, misalnya berupa wisata alam (ecotourism), perikanan tangkap dan budidaya yang ramah lingkungan (responsible fisheries), dan pengusahaan hutan mangrove secara lestari. Sedangkan, zona pemanfaatan intensif adalah kawasan yang karena sifat biologis dan ekologisnya dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan pembangunan yang lebih intensif, seperti industri, pertambangan, dan pemukiman padat penduduk.
Kedua, adalah bahwa jika kita memanfaatkan sumberdaya dapat pulih, seperti sumberdaya ikan atau hutan mangrove, maka laju (tingkat) pemanfaatannya tidak boleh melebihi kemampuan pulih (potensi lestari) sumberdaya tersebut dalam periode waktu tertentu. Dalam bidang perikanan tangkap, misalnya, potensi lestari biasanya didefinisikan sebagai MSY (maximum sustainable yield atau Hasil Tangkap Maksimum yang Lestari), seperti yang tercantum pada Lampiran 1 untuk berbagai kelompok stok ikan di sembilan wilayah perairan laut Indonesia. Sementara ini, sudah ada pedoman dari Direktorat Jenderal Perikanan bahwa tingkat penangkapan/pemanenan suatu stok ikan tidak boleh melebihi 80% dari nilai MSY-nya. Dalam pada itu, untuk sumberdaya tak dapat pulih, seperti minyak dan gas bumi, mineral dan bahan tambang lainnya, pedomannya adalah bahwa kegiatan pemanfaatan (eksploitasi), proses produksi (pengolahan) dan distribusi/transportasinya harus dilakukan secara cermat, sehingga tidak merusak lingkungan sekitarnya. Lebih dari itu, laju pemanfaatannya pun harus diatur sedemikian rupa, sehingga ditemukan alternatif penggantinya sebelum sumberdaya ini habis (exhausted) atau memperhatikan kepentingan generasi mendatang.
Ketiga, jika kita menggunakan kawasan laut sebagai tempat pembuangan limbah, maka syarat pertama adalah bahwa jenis limbah tersebut bukan yang bersifat B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Selain itu, jumlah (beban, load) limbah yang dibuang ke dalam kawasan laut termaksud harus tidak melampaui kapasitas asimilasi (assimilative capacity) dari perairan tersebut. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kapasitas asimilasi adalah kemampuan kawasan perairan laut di dalam menerima jumlah limbah tertentu, tanpa mengakibatkan penurunan fungsi (peruntukan) perairan termaksud atau tanpa menimbulkan kerusakan ekologis atau penurunan kesehatan manusia yang menggunakan perairan.
Keempat, di dalam melakukan kegiatan rancangan (design) dan konstruksi atau modifikasi bentang alam (morfologi) pantai atau laut dalam, seperti pembangunan dermaga laut (jetty), struktur pemecah gelombang (breakwaters), dan marina, harus disesuaikan dengan karakteristik dan dinamika biogeofisik setempat, termasuk pola arus, gelombang, dan struktur geologi.
Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir Tingkat Propinsi dan Kabupaten/ Kotamadya
Dalam kasus pengelolaan sumberdaya kelautan yang bersifat lintas Propinsi dan atau lintas Kabupaten/Kota secara optimal dan berkelanjutan, maka kegiatan yang terdapat di masing-masing Propinsi atau Kabupaten/Kota hendaknya menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagaimana diuraikan di atas. Pola pengelolaan seperti ini dapat dilakukan antara lain di antara Propinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara yang dipisahkan oleh Teluk Bone, Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Lampung yang dibatasi oleh Selat Sunda, atau pun antara Propinsi Jawa Timur dengan Propinsi Bali, dan sebagainya. Hal ini berdasarkan pada pertimbangan bahwa kawasan pesisir dan laut di kedua propinsi sesungguhnya saling terkait melalui pergerakan massa air laut (arus laut), migrasi biota laut, bahan organik, dan lain-lain. Oleh karena itu, setiap kabupaten dan propinsi yang terdapat di dalam kawasan tersebut hendaknya mempunyai Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir (Coastal Zone Management Plan) masing-masing dengan mengikuti kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan.

RPWP (Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir) tersebut pada prinsipnya harus mencakup dua hal utama, yaitu: (1) kebijakan, strategi dan program untuk mendayagunakan potensi pembangunan yang masih belum dimanfaatkan secara optimal sesuai dengan daya dukung lingkungan dan permintaan pasar; dan (2) kebijakan, strategi dan program untuk mencegah serta menanggulangi permasalahan baik yang bersifat biofisik maupun sosial-ekonomi dan budaya.
Secara lebih spesifik, RPWP tersebut hendaknya juga mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Penetapan batas wilayah pesisir sebagai suatu satuan pengelolaan (a management unit).
b. Tata ruang wilayah pesisir sesuai dengan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan di atas.
c. Penentuan jenis kegiatan pembangunan (seperti perikanan, pariwisata, industri, pertambangan dan energi, perhubungan, dan konservasi) beserta intensitas (laju)-nya untuk lima tahun atau dua puluh lima tahun ke depan. 
d. Pedoman pengelolaan pencemaran dan pemeliharaan kualitas perairan laut.
e. Pedoman konservasi habitat pesisir yang vital (seperti mangrove, terumbu karang, estuaria, dan padang lamun) dan biota atau satwa langka/dilindungi.
f. Deskripsi tentang struktur dan mekanisme organisasi untuk melaksanakan RPWP, termasuk tanggung jawab dan hubungan antar stakeholders (pihak terkait) baik kalangan pemerintah (tingkat II, tingkat I, dan pusat), swasta, maupun swadaya masyarakat.

Pedoman Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Lintas Batas Propinsi
Pada dasarnya pengelolaan sumberdaya kelautan yang bersifat tetap (tidak bergerak) seperti mineral dan bahan tambang yang terdapat di dasar laut dan daratan pesisir, hutan mangrove, dan terumbu karang) tidak akan menimbulkan masalah antar daerah asal dilakukan mengikuti kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Akan berbeda halnya dengan sumberdaya kelautan yang bergerak seperti beberapa jenis ikan dan biota laut lainnya (penyu misalnya) yang bermigrasi. Jenis-jenis ikan/biota laut tertentu, seperti tuna, cakalang, udang penaeid, dan penyu, bisa saja bertelur dan memijah di kawasan perairan yang termasuk wilayah Propinsi/Kabupaten/Kota tertentu, tetapi membesarkan dirinya di kawasan perairan daerah lainnya. Demikian pula halnya dengan para nelayan, kadangkala nelayan dari satu daerah tertentu melakukan penangkapan di daerah lainnya misalnya nelayan Bone menangkap ikan di perairan Kolaka, atau nelayan Jawa Barat menangkap ikan di perairan Lampung atau sebaliknya.
Untuk mengelola pemanfaatan sumberdaya perikanan yang bersifat lintas batas (shared stock) antar kedua daerah atau lebih secara berkesinambungan, perlu dibuat tim kerjasama kedua propinsi. Tim ini bertugas:
1. menentukan kuota penangkapan untuk nelayan masing-masing propinsi;
2. merumuskan pedoman pengelolaan kegiatan penangkapan ikan sesuai dengan kaidah responsible fisheries yang telah ditetapkan oleh FAO (1995);
3. melakukan kegiatan MCS (Monitoring, Controlling, and Surveilance); dan bersama instansi terkait melakukan aksi penegakan hukum (law enforcement).
Pola kerjasama seperti ini telah banyak dilakukan oleh negara-negara lain misalnya Filipina. Pengelolaan suatu teluk misalnya, yang melibatkan lebih dari satu Pemerintah Daerah, kemudian menyusun suatu tim pekerja (technical working group), kelompok inilah menjembatani antara pemerintahan daerah dalam mengambil kebijakan-kebijakan pengelolaan teluk.

Aspek lain yang bersifat lintas batas adalah perhubungan laut, kabel dasar laut, dan pencemaran. Misalnya, pencemaran yang terjadi di wilayah perairan Lampung bisa saja menyebar ke wilayah perairan Jawa Barat, dan sebaliknya. Oleh karena itu, segenap aspek ini harus dikelola secara bersama antar kedua propinsi. Tim yang sama untuk perikanan dapat saja diberi tugas tambahan untuk menangani pengelolaan ketiga aspek ini.
Upaya-upaya yang perlu dilakukan guna menjawab tantangan/hambatan, yang meliputi eksplorasi, eksploitasi sumberdaya serta pengelolaan yang meliputi pelestarian, konservasi, rehabilitasi, pengamanan, keselamatan, pencemaran, abrasi, interusi, sedimentasi pada kawasan pesisir dan laut perbatasan antara propinsi meliputi:
a. Upaya penyempurnaan peraturan tentang pemanfaatan ruang wilayah secara lebih operasional. Sehingga dapat memberikan peluang dan kemudahan bagi tumbuhnya investasi masyarakat/dunia usaha, acuan/pedoman dalam pengembangan wilayah perbatasan antara propinsi secara lebih efisien dan efektif bagi semua sektor pembangunan baik yang dilakukan pemerintah maupun masyarakat/dunia usaha. Dengan begitu dapat memberikan keuntungan bagi semua pihak khususnya masyarakat luas dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan bagi pembangunan berkelanjutan;
b. Upaya pengelolaan pemanfaatan sumberdaya secara terpadu dan sinergis antara propinsi terhadap rencana pengembangan kawasan strategis regional (lintas wilayah dan sektor) melalui program-program pengembangan Wisata Bahari, Pengembangan Transportasi Laut, Pengelolaan Perikanan, Agroindustri dan Agrowisata terpadu.
c. Upaya peningkatan kerjasama antar daerah (Tk I, Tk II) dalam optimalisasi pemanfaatan fasilitas sarana dan prasarana yang tersedia.
d. Upaya bersama dalam peningkatan dan pengembangan institusi yang ada guna mengantisipasi dan memenuhi kebutuhan dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir dan laut untuk lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
e. Upaya-upaya bersama penerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi guna peningkatan kesejahteraan masyarakat/daerah dengan kerjasama berbagai pihak (stakeholders). Hal ini merupakan tantangan bagi perguruan tinggi (lembaga penelitian) di kedua propinsi untuk berperan aktif;
f. Upaya pengendalian pemanfaatan sumberdaya yang ada dengan perencanaan yang tepat dalam menangani konservasi kawasan pesisir dan laut guna menjamin keberlanjutan fungsi kawasan melalui program-program rehabilitasi dan pelestarian SDA dan lingkungan hidup (terumbu karang, abrasi dan sedimentasi, pencemaran, ikan hias, bakau).
Pendekatan Co-management

Pada hakekatnya kebijakan pembangunan sumberdaya kelautan seperti yang diuraikan di atas beserta hasilnya adalah merupakan proses politik. Dalam pengertian, bahwa kebijakan tersebut tersusun dan terimplementasikan melalui proses negosisasi antar berbagai stakeholders. Oleh karena itu, keberhasilan segenap kaidah pembangunan berkelanjutan yang baik-baik seperti di atas sangat tergantung pada kemauan dan komitmen segenap stakeholders tersebut. Untuk dapat menarik kemauan dan komitmen politik stakeholders, maka pendekatan pembangunan masa lalu yang sangat sentralistik dan top-down harus diubah dengan pendekatan pembangunan yang bersifat partisipatif. Pengelolaan bersama antar pihak pemerintah, swasta, dan masyarakat lokal (LSM) seyogyanya diterapkan untuk mengelola pembangunan sumberdaya kelautan.

Mengubah Gelombang Laut Jadi Energi Listrik
Pengubahan gelombang air laut ini ,enjadi energi listrik, dapat kita ketahui dari pendapan ahli sebagai berikut.
Gelombang laut seperti berkejaran menghempas ke Pantai Padang. Riak yang dihembus angin Samudra Hindia itu terus berdebur menciptakan nyanyian khas dari laut, selama berabad-abad.
Selama itu pula, kebanyakan orang hanya memandangnya sekadar sebagai ombak yang bergulung dan kemudian pecah ke tepian. Tetapi, tidak demikian bagi Zamnisyaf, 48.
Tujuh tahun lalu, ketika karyawan Bidang Perencanaan Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sumatra Barat ini menumpang speed boat ‘Kuda Laut’ dan Mentawai menuju Padang, ia termenung lama. Hempasan gelombang yang keras menghantam kapal kecil tersebut menginspirasinya tentang energi lautan yang selama ini terabaikan.
bagaimana caranya memindahkan energi gelombang yang besar itu menjadi energi gerak, sehingga bisa dimanfaatkan menjadi pembangkit tenaga listrik. Zamrisyaf ditugaskan ke Mentawai untuk mencari kemungkinan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hydro (PLTMH) di Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Setelah berkeliling Mentawai, kami tidak menemukan sungai atau tenaga air yang bisa dimanfaatkan untuk membangun PLTMH, sehingga saya kemudian berpikir, apakah bisa memanfaatkan tenaga gelombang,” kata pria kelahiran 19 September 1958 itu.
Ide tersebut lama mengendap Sampai akhirya pada 2002, ketika naik kapal laut dan Padang menuju Jakarta, Zamrisyaf terinspirasi melihat lonceng kapal yang berdentang karena kerasnya gelombang.
“Itulah ide awalnya. Bandul yang bergerak karena gelombang!” seru Zamrisyaf. Dia pun bersemangat meneruskan konsep rancangannya. Mulanya dengan membuat gambar dan kemudian berkonsultasi dengan sahabatnya, Aidil Zamri, dosen Politeknik Teknologi, Universitas Andalas.
Aidil kemudian membantu dengan hitungan dan rumus untuk membuat alat yang diinginkan Zamrisyaf. Rancangan itu disusun dalam posisi mengapung di atas permukaan air laut. Temuan yang akhirnya diberi nama Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang Laut Sistem Bandulan (PLTGL-SB) itu akan bergerak mengikuti arus gelombang. Ini membuat bandul yang digantung di alat tersebut selalu bergerak sesuai dengan alur gelombang.
Gerakan bandul yang teru-menerus tersebut menggerak pompa hidraulik tipe silinder, sehingga memompa fluida dari resevoir ke motor hidrolik. Setelah distabilkan di tabung acumalator selanjutnya tekanan fluida menggerakkan motor hidraulik yang langsung memutar dinamo untuk mengeluarkan energi alias daya listrik.
Dalam suatu uji coba di Pantai Padang, Desember 2003, perangkat kerasnya berupa perahu atau ponton. Di atas ponton ada tiang besi tempat bandulan (mirip bandulan jam dinding) dengan ayunan bandul 30 derajat. Sumbu pada lengan bandulan disatukan dengan roda freewheel, bak roda sepeda.
Untuk mendatangkan kelipatan kecepatan,freewheel dihubungkan dengan rantai ke roda transmisi, lalu dirangkai dengan vbeel ke satu atau dua roda gila, untuk selanjutnya dihubungkan ke dinamo, yang akan memproduksi listrik.
Model PLTGL itu lalu diletakkan di bibir pantai. Dalam uji coba tersebut, PLTGL model Zamrisyaf mampu menghasilkan daya listrik tiga kilowatt dan menerangi 20 rumah di desa nelayan.
Departemen Sumber Daya Energi dan Mineral pun menguji temuan Zamnisyaf dalam penelitian yang intens di Jakarta. Namun, baru sebatas penelitian.
“Padahal, jika ini dikembangkan, kita akan mengakhiri krisis energi yang terjadi saat ini,” ujar Zamrisyaf.

Dia memberikan hitungan, untuk areal lautan dengan luas 1 kilometer persegi, energi gelombang laut dapat menghasilkan daya listrik sekitar 20 megawatt (Mw). Jumlah ini sama dengan kekurangan daya listrik di Sumbar saat Investasinya Rp20 juta per kilowatt (Kw) atau total Rp400 miliar dan sanggup menerangi 40000 rumah.
Namun, menurut Zamnisyaf, sebelum temuan ini dikembangkan dan bermanfaat untuk masyarakat, tak ada gunanya. Bagi dia, penghargaan yang diterima belum seberapa dibanding jika melihat hasil kerjanya bisa berguna.
Berkat temuan PLTGL itu, suami Erliza, serta ayah dan Rina Astniyeni, 20, Madya Detni
Erlanda, 17, dan Nining Tridila Suwasti, 16, sering diundang ke Jakarta untuk mempresentasikan hasil percobaan itu.
Akhir Januari 2004, lulusan STM itu tampil bareng dengan 20 peneliti lainnya (hasil seleksi dan sekitar 58 proposal yang masuk ke BPPT).
Temuan Zamrisyaf adalah pertama di dunia dengan memanfaatkan tenaga gelombang sistem bandul. Sebelumnya beberapa negara lain di dunia sudah memanfaatkan gelombang laut untuk membangkit tenaga listrik, tapi dengan cara yang berbeda.
Misalnya, dengan memanfaatkan tenaga hempasan gelombang untuk menghasilkan tekanan penggerak dinamo. Atau, sistem gerakan engsel yang kemudian diubah menjadi tenaga listrik. Untuk membuatnya, dibutuhkan biaya lebih mahal bila dibandingkan sistem bandul temuan Zamrisyaf.

Zamrisyaf muda tergolong anak yang kreatif dan selalu mencoba-coba hal yang baru. Pada era 1980-1983, usai menamatkan STM dan menetap di kampungnya di Nagari Sitalang, Kecamatari Ampek Nagari, Lubuk Basung, Kabupaten Again, sulung dan sembilan bersaudara itu membuka bengkel elektromk kecil-kecilan di rumah.
Kendalanya ketika itu, tak ada listrik sehingga Zamrisyaf tak bisa menggunakan solder yang amat diperlukan untuk memperbaiki berbagai peralatan elektronik. Ta kemudian melobi ayahnya, Syahroel Sutan Sinaro untuk membeli genset sebagai sumber tenaga listrik.
“Awalnya dengan pemikiran, genset itu bisa disewakan juga kepada tetangga yang butuh penerangan listrik. Namun, setelah kami hitung- hitung biaya untuk membeli bahan bakar solar terlalu besar, sehingga akhirnya batal.”
Zamrisyaf dapat ide ketika melihat kincir air di dekat rumahnya yang biasa digunakan untuk menumbuk padi di lesung. Berbekal keinginan kuat mendapatkan listrik, ia mulai mengutak-atik kincir agar bisa menggerakkan dinamo. Enam bulan lamanya dia mencoba, kegigihan itu akhimya membuahkan hasil. Kincir air Zamrisyaf bisa menghasilkan listrik yang bisa menerangi 20rumah selama 24 jam. Nama Zamrisyaf pun melambung.
Sejak itu nama Zamrisyaf menghiasi sejumlah mas media, baik lokal maupun nasional. Dia berkali-kali diundang Gubernur Sumbar, waktu itu Azwar Arias, untuk presentasi di hadapan menteri, antara lain Menteri Koperasi Bustanul Arifin, Menteri Negara Lingkungan Hidup Emil Salim, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Harun Zain, serta Menteri Perindustrian AR Suhud. Gubernur berjanji akan mempercayakan kepadanya untuk mengembangkan 4.000 unit kincir air di Sumbar guna dijadikan pembangkit listrik. Ternyata itu hanya sekadar janji.
Kecewa dengan janji pemerintah daerah, pada 1983 Zamrisyaf merantau ke Malaysia. Ternyata, diaindiam sekelompok wartawan mengusulkan Zamrisyaf untuk menerima Kalpataru. Setelah dinilai, ternyata dia mengalahkan 22 nama Iainnya yang diusulkan pemda.
Pemda Sumbar pun kelimpungan mencarinya ke Malaysia. Karena tak kunjung bertemu, akhimya SyahroeL ayah Zamrisyaf mewakilinya bertemu Presiden Soeharto, 5 Juli 1983.
Zamri sendiri, baru tahu kabar itu setelah mendengar radio di Malaysia. Media massa, ketika itu ribut menyalahkan pemda. Untuk menebus hal itu, Gubernur Azwar Arias memanggilnya pulang, kemudian direkomendasikan menjadi karyawan PLN.
“Tanggung jawab itu, kemudian melekat pada diri saya. Saya ingin agar bisa memanfaatkan sumber energi lain yang bisa dimanfaatkan untuk pembangkit listrik,” ujarnya.
Awal 2002 ia diundang Presiden Megawati ke Istana Negara. Di sana Zamrisyaf mencoba memperkenalkan temuan baru berupa teknologi PLTGL. Tanggal 5 November 2002 ia kembali diundang Presiden untuk menerima Tanda Kehormatan Satya rencana Pembangunan.

pembangkit listrik tenaga ombak
Energi ombak adalah energi alternatif yang dibangkitkan melalui efek osilasi tekanan udara (pumping effect) di dalam bangunan chamber (geometri kolom) akibat fluktuasi pergerakan gelombang yang masuk ke dalam chamber. Berkaitan dengan hal tersebut pada 22 Juni 2007 bertempat di Parang Racuk Yogyakarta telah diresmikan Technopark Parang Racuk melalui Uji Operasional PLTO (Pembangkit Listrik Tenaga Ombak) pada Kondisi Air Pasang oleh Kepala BPPT Said D. Jenie
Acara yang dihadiri Sekretaris Utama, Deputi TIRBR, Deputi TPSA, Deputi TAB, Eselon II di lingkungan Setama dan Eselon I, II dan III di lingkungan TIRBR, dan Bupati Gunung Kidul, Staf Ahli Kepala BPPT serta pimpinan dan peneliti dari BPDP Yogyakarta.
Tujuan kegiatan ini adalah memberikan paket model sumber energi alternatif yang ketersediaan sumbernya cukup melimpah di wilayah perairan pantai Indonesia. Paket model tersebut akan menunjukkan tingkat efisiensi energi yang dihasilkan dan parameter-parameter minimal hidrooseanografi yang layak, baik itu secara teknis maupun ekonomis untuk melakukan konversi energi.
Hasil survei hidrooseanografi di wilayah perairan Parang Racuk menunjukkan bahwa sistem akan dapat membangkitkan daya listrik optimal jika ditempatkan sebelum gelombang pecah atau pada kedalam 4m-11m. Pada kondisi ini akan dapat dicapai putaran turbin antara 3000-700rpm. Posisi prototip II OWC (Oscilating Wave Column) masih belum mencapai lokasi minimal yang diisyaratkan, karena kesulitan pelaksanaan operasional alat mekanis. Posisi ideal akan dicapai melalui pembangunan prototip III yang berupa sistem OWC apung.
Kegiatan ini dimulai pada tahun 2005 dan telah menghasilkan Sistem Pengendali Berbasis DC dengan kapasitas 3500 KW. Pada saat ini sistem tersebut telah dipasang di Baron Energy Park - BPPTdan Parang Racuk yang siap diujicoba (OT&E) bersama UPT LAGG yang mengembangkan wind turbine serta BPDP yang mengembangkan OWC System.
Yogyakarta merupakan daerah di Indonesia yang memiliki potensi gelombang laut terbesar dibanding daerah lainnya. Pantai Selatan di daerah Yogyakarta memiliki potensi gelombang 19 kw/panjang gelombang). Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang Laut di daerah Yogyakarta dikembangkan oleh BPPT khususnya BPDP (Balai Pengkajian DinamikaPantai). Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang Laut ini menggunakan metode OWC (Ocillating Water Column).

BPDP – BPPT pada tahun 2004 telah berhasil membangun prototype OWC pertama di Indonesia. Prototype itu dibangun di pantai Parang Racuk, Baron, Gunung Kidul. Prototype OWC yang dibangun adalah OWC dengan dinding tegak. Luas bersih chamber 3m x 3m. Tinggi sampai pangkal dinding miring 4 meter, tinggi dinding miring 2 meter sampai ke ducting, tinggi ducting 2 meter. Prototype OWC 2004 ini setelah di uji coba operasional memiliki efisiensi 11%. Pada tahun 2006 ini pihak BPDP – BPPT kembali membangun OWC dengan sistem Limpet dipantai Parang Racuk, Baron, Gunung Kidul . OWC Limpet dibangun berdampingan dengan OWC 2004 tetapi dengan model yang berbeda. Dengan harapan besar energi gelombang yang bisa dimanfaatkan dan efisiensi dari OWC Limpet ini akan lebih besar dari pada OWC sebelumnya.

KONSTRUKSI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA OMBAK

Unsur yang paling penting dari instalasi PLTO adalah pada pemodifikasian saluran air masuk, kemudian dinaikkan di penampungan. Bangunan ini terdiri dari dua unit, yaitu kolektor dan konvertor. Kolektor berfungsi menangkap ombak, menahan energinya semaksimal mungkin dan mengarahkan gelombang itu ke konverter. Oleh converter yang ujungnya meruncing, air diteruskan menuju ke penampungan. Saluran ini dinamai tapchan, kependekkan dari tappered channel atau saluran penjebak. Setelahair terkumpul, tahap berikutnya tidak jauh berbeda dengan mekanisme kerja yang ada pada pembangkit listrik umumnya. Banyak manfaat yang bisa dipetik dari teknologi PLTO. Selain hemat biasanya investasi dan biaya operasional, pembangkit listrik tersebut juga ramah lingkungan karena tidak mengeluarkan limbah padat, cair, maupun gas. Bahkan, kolam penampungannya dapat digunakan untuk budidaya ikanair laut.
Selain memanfaatkan ombak, energi listrik ternyata juga bisa diperoleh dari arus laut. Arus laut mempunyai kelebihan dibanding gelombang, karena bisa dihitungdan diperkirakan. Untuk wilayah Indonesia, energi arus laut memiliki prospek yang cukup baik karena Indonesia memiliki banyak pulau dan selat. Ketika melewati selat yang sempit, arus laut mengalami percepatan sebagai akibat dari interaksi bumi-bulan-matahari. Energi inilah yang digunakan untuk menggerakkan roda gigi generator sehingga dapat menghasilkan setrum (arus/energi/tenaga listrik). Energi arus laut bersifat ramah lingkungan, juga mempunyai intensitas energi kineticyang besar. Karena kerapatan air laut 830 kali lipat dibandingkan dengan udara sehingga daun turbin arus laut akan jauh lebih kecil dibandingkan dengan daun turbin angin. Turbin arus laut juga tidak memerlukan rancangan struktur dengan kekuatan berlebihan seperti halnya turbin anginyang dirancang dengan memperhitungkan adanya angin topan.
OWC 2004

FWP adalah suatu peningkatan pada desain Oscillating water column (OWC). Itu mengadopsi beberapa konsep dari mesin bahan bakar. FWP berisi suatu array dari kolamair yang dapat bergerak kesana kemari.

where ?p is the pressure drop from the high pressure chamber to the low pressure chamber times the air flow rate Q

To calculate wave energy for the one linear meter we use the formula below

Power (in kW/m) = k H 2 T ~ 0.5 H 2 T,

Where k = constant, H = wave height (crest to trough) in meters, and T = wave period (crest to crest) in seconds.

For deep water, the relationship between speed and wavelength is given by the formula:

l = g x t x t / (2 x pi)

l = t x c for all kinds of waves, substitute in above equation:
t x c = g x t x t / (2 x pi)
c = g x t / (2 x pi) or t = c x 2 x pi / g or t = c x 0.641 (s) where t= wave period (sec), f= wave frequency, l= wave length (m) and phi=3.1415...

to calculate c and l from wave period t (in sec):

c = t x 1.56 m/s= t x 5.62 km/hr = t x 3.0 knot

l = 1.56 x t x t (metres)

Pemanfaatan potensi laut Indonesia belum optimal. Paling tidak, dalam pandangan Ni Nyoman Mestri Agustini dan Arista Dewi, pemanfaatan yang dilakukan baru sebatas pada kekayaan alam yang ada di dalamnya. Gelombang laut yang, disebutnya, memiliki potensi cukup besar, kenyataannya selama ini belum termanfaatkan.

Salah satu bentuk energi yang dapat diubah menjadi energi yang dapat dipergunakan untuk keperluan hidup sehari-hari. Model pemanfaatannya hampir sama dengan pemanfaatan air terjun sebagai pembangkit energi listrik.

Berangkat dari pemikiran itulah, keduanya kemudian melakukan penelitian mengenai transformasi energi gelombang laut menjadi energi listrik. Penelitian menyangkut bagaimana mekanisme transformasinya serta kuantitas energi listrik yang dapat dihasilkan.

Sedang di Pantai Buleleng, dilakukan pengujian terhadap model transformasi energi gelombang laut menjadi energi listrik.jumlah gerigi 44 dan dengan jumlah gerigi 16, besi batangan, dan engsel.
Peralatan yang digunakan dalam melakukan penelitian ini meliputi alat las, gergaji besi, gergaji kayu, penggaris, pensil, bor, obeng, palu, pemotong besi, siku, tahanan 500 ohm,dan voltmeter. Bahan-bahan yang dipakai, free wheel, roda sepeda, jeruji besi, paku, triplek dengan tebal 1 cm ukuran 60 x 40 cm, baut, dinamo, besi siku, roda gergaji dengan

Percobaan penelitian dilakukan dengan lebih dulu mengukur periode datangnya ombak. Ini dilakukan dengan mengukur selang waktu datangnya ombak pertama dengan ombak kedua, ombak kedua dengan ombak ketiga, dan seterusnya hingga ombak kesepuluh. Percobaan ini dilakukan sebanyak lima kali. Hasil yang didapatkan pada setiap percobaan, kemudian dirata-ratakan.

Dari sejumlah peralatan yang telah dipersiapkan, dibuat alat untuk mentransformasi energi gelombang laut menjadi energi listrik. Dari alat ini pula dilakukan pengukuran tegangan listrik yang dihasilkan alat transformasi energi laut menjadi energi listrik. Caranya, dinamo yang berfungsi mengubah energi mekanik menjadi energi listrik dihubungkan dengan tahanan dan voltmeter melalui kabel.

Selain itu, tegangan listrik yang dihasilkan generator diukur dengan voltmeter, sedangkan untuk mengetahui kuat arus yang dihasilkan dapat dilakukan dengan menggunakan data tegangan dan hambatan yang ada.

Dari percobaan yang dilakukan diperoleh data periode datangnya gelombang laut sebesar 5,56 detik. Dengan data ini dapat dibuat suatu alat yang bisa mengubah energi gelombang laut menjadi energi listrik. Data periode tersebut digunakan untuk mengetahui waktu yang diperlukan oleh alat untuk tetap mempertahankan putaran selama belum datang gelombang berikutnya.

Dari alat percobaan yang dirancang, dapat dilihat adanya transformasi energi dari energi gelombang laut menjadi gelombang mekanik, lalu menjadi energi listrik. Besarnya energi listrik yang dihasilkan akan sebanding dengan energi gelombang laut yang mengenai alat.

Percobaan yang dilakukan diperoleh tegangan listrik rata-rata yang dihasilkan sebesar 2,151 volt dan rata-rata tegangan minimal yang dihasilkan adalah 1,457 volt. Setelah dilakukan beberapa perhitungan, maka didapatkan besar arus listrik yang dihasilkan adalah 0,0036 amper dan besar daya yang dihasilkan adalah 0,0065 watt. Dengan mengalikan daya dengan waktu maka diperoleh energi sebesar 0,0065 joule. Hal ini berarti bahwa energi yang dihasilkan untuk setiap detiknya adalah 0,0065 joule.

Untuk memperbesar energi yang dapat dihasilkan per satuan waktu, dapat dilakukan dengan cara memperluas bidang yang dikenai oleh gelombang laut. Selain itu, memperbesar ukuran dinamo (alat pengubah energi mekanik menjadi energi listrik), dan memperbesar putaran roda pemutar dinamo.

Energi yang dihasilkan itu, menurut kedua siswi ini, memiliki kelebihan. Antara lain, tidak menimbulkan polusi karena tidak ada limbahnya, energi gelombang laut tidak akan habis, dan sistem transformasi energi gelombang laut menjadi energi listrik relatif sederhana.

Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa energi gelombang laut dapat diubah menjadi energi listrik melalui suatu mekanisme tranformasi energi. Dinamo adalah komponen utama dalam mengubah energi gelombang laut menjadi energi listrik. Tenaga listrik yang dihasilkan dari sistem yang digunakan sebesar 1,806 volt. Tegangan ini dapat diperbesar

Pembangkit Listrik Tenaga Arus Laut Sebagai Pemanfaatan terhadap Wilayah Laut Indonesia
PLTA yang umum kita ketahui adalah pembangkit listrik yang energi penggerak utamanya bersumber dari air yang dibuat sedemikian hingga agar mampu menggerakan turbin. PLTA merupakan jenis pembangkit sumber energi terbarukan dan tanpa menimbulkan emisi. Tetapi untuk skala besar masih banyak masalah-masalah yang harus dihadapi dari pengembangan PLTA ini. Permasahan yang sering timbul adalah, besarnya biaya untuk pembangunan dan pemeliharaan PLTA, Kebutuhan lahan yang sangat luas dan efek samping yang diakibatkan terhadap lingkungan juga menjadi kendala, karena alasan tersebut, akhir-akhir ini banyak yang mengembangkan alternatif teknologi baru sistem pembangkit listrik yang menggunakan tenaga air untuk mengahasilkan enegi listrik, salah satunya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Arus Sungai/Laut (PLTAL).
Menurut beberapa sumber yang dibaca, arus sungai mempunyai kelebihan dibandingkan dengan angin ataupun matahari yang cenderung lebih dipengaruhi oleh cuaca, sementara arus sungai mempunyai aliran yang tetap dan tidak banyak mengalami perubahan hingga ratusan tahun. Selain itu, air mempunyai berat jenis yang lebih besar dibandingkan dengan udara, dan hal itu berarti bahwa potensi energi yang bisa dihasilkan 321.800 km sungai-sungai besar di dunia lebih besar dibandingkan dengan energi yang bersumber dari angin.
Berbeda dengan arus sungai, arus laut juga mempunyai kandungan energi yang bisa dimanfaatkan sebagai energi terbarukan. Namun arus laut cenderung mengalami perputaran atau biasa disebut juga arus putar sehingga cenderung pula untuk merusak. Pada selat, teluk dan tempat-tempat lainnya dimana arus laut mengalami penyempitan berupa bottle neck, arus laut akan sangat kuat sehinga sangat potensial untuk dimanfaatkan energinya.
Teknologi yang digunakan bekerja dengan cara mengkonversi energi kinetik dari arus laut ke energi listrik. Untuk melakukan hal tersebut, tidak dapat dilakukan dengan cara menghalangi seluruh jalan dari arus tersebut. Jika jalan dari arus tersebut dihalangi seluruhnya, maka energi yang ada tidak dapat diambil atau bahkan dapat merusak ekosistem yang ada. Maka dibuatlah desain untuk memaksimalkan jumlah energi yang dapat diambi sementara arus laut dapat berjalan sebagaimana mestinya tetapi dengan energi yang berkurang.
Ada beberapa macam kategori untuk mengubah energi arus laut menjadi energi listrik. Salah satu kategorinya ialah berdasarkan pada konfigurasi rotor :
1. Horizontal axis
2. Reciprocating hydrofoil
3. Vertical axis
Sedangkan sistem turbinnya terdiri dari dua tipe:
Tidal Fence


Tidal fences ini sangat efektif untuk menghalangi arus. Keuntungan lain dari alat ini ialah bahwa semua peralatan listrik (generator dan transformator) dapat ditaruh di atas permukaan air. Selain itu, dengan memotong saluran arus, maka kecepatan turbin akan meningkat secara signifikan. Namun alat ini mempunyai beberapa kekurangan. Karena alat ini ditempatkan di tepi muara, maka dapat mengganggu ekosistem yang ada.
Tidal turbin



Tidal turbin merupakan alternartif dari tidal fence. Bentuknya yang menyerupai turbin angin, mempunyai beberapa kelebihan daripada tidal fence. Alat ini lebih aman bagi lingkungan, tidak menghalangi kapal kecil untuk bergerak di atasnya atau di area tempat turbin ini berada, dan pembuatannya yang membutuhkan sedikit material daripada tidal fence.
Tidal turbin dapat bekerja dengan baik di tempat yang mempunyai arus 2-2.5 m/s (arus yang lebih lambat tidak ekonomis sedangkan arus yang lebih cepat akan memberikan tekanan yang besar pada peralatan yang ada). Arus tersebut akan memberikan kerapatan energi empat kali lebih besar daripada udara, yang berarti turbin air dengan diameter 15 m akan menghasilkan energi yang sama dengan turbin angin dengan diameter 60 m. Sebagai tambahan, arus laut dapat diprediksi dan andal, sehingga dapat dikatakan lebih baik daripada energi angin atau energi matahari.
Ada banyak tempat di seluruh dunia yang memungkinkan untuk dipasang tidal turbin. Tempat yang ideal ialah tempat yang dekat dengan tepi laut (1 km) dan di air dengan kedalaman 20-30m. Menurut Peter Fraenkel,direktur dari UK-based Marine Current Turbines, tempat yang ideal akan menghasilkan 10 MW/km2. Uni Eropa telah mengidentifikasi 106 tempat yang cocok untuk dipasang turbin ini. Fraenkel juga percaya bahwa Indonesia juga dapat mengembangkan teknologi ini untuk membangkitkan energi.
Menurt pendapat dari Rick Drisscoll, kepala Pusat Teknologi Energi Laut menjelaskan bahwa tantangan terbesar adalah pengembangan perangkat yang mampu bertahan di tempat dengan kekuatan arus yang besar.
”Sangat banyak potensi yang bisa diambil, tetapi di sana juga masih terdapat keterbatasan pendanaan,”
dari data perusahan Bourne Energi, energi listrik yang dihasilkan dari air mengalami peningkatan dari 16% di tahun 2003 hingga 19% di saat ini. Sementara energi angin hanya mengalami peningkatan pertumbuhan sebesar kurang dari 1%. hasil ini lebih besar dibanding listrik yang bersumber dari biomassa, geothermal, surya dan angin.
Pembangkit listrik tenaga arus laut mempunyai beberapa keuntungan jika digunakan sebagai pembangkit listrik :
1. Merupakan energi terbarukan.
2. Mengurangi ketergantungan kepada bahan bakar fosil.
3. Tidak menghasilkan polusi/ ramah lingkungan
4. Pembangunannya yang relative cepat.
Namun saat ini untuk menerapkan teknologi PLTAL masih dihadang kendala dana dan penelitian daerah mana yang memiliki potensi terbesar dalam penerapan teknologi tersebut, namun dapat dipastikan penggunaan energi ini menjadi salah satu alternatif yang berpotensi besar, khususnya di negara kita Indonesia yang berupa negara kepulauan.

Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC)
Konversi energi termal lautan (Inggris: Ocean Thermal Energy Conversion/OTEC) adalah metode untuk menghasilkan energi listrik menggunakan perbedaan temperatur yang berada di antara laut dalam dan perairan dekat permukaan untuk menjalankan mesin kalor. Seperti pada umumnya mesin kalor, efisiensi dan energi terbesar dihasilkan oleh perbedaan temperatur yang paling besar. Perbedaan temperatur antara laut dalam dan perairan permukaan umumnya semakin besar jika semakin dekat ke ekuator. Pada awalnya, tantangan perancangan OTEC adalah untuk menghasilkan energi yang sebesar-besarnya secara efisien dengan perbedaan temperatur yang sekecil-kecilnya.
Permukaan laut dipanaskan secara terus menerus dengan bantuan sinar matahari, dan lautan menutupi hampir 70% area permukaan bumi. Perbedaan temperatur ini menyimpan banyak energi matahari yang berpotensial bagi umat manusia untuk dipergunakan. Jika hal ini bisa dilakukan dengan cost effective dan dalam skala yang besar, OTEC mampu menyediakan sumber energi terbaharukan yang diperlukan untuk menutupi berbagai masalah energi.


Siklus kalor yang sesuai dengan OTEC adalah siklus Rankine, menggunakan turbin bertekanan rendah. Sistem dapat berupa siklus tertutup ataupun terbuka. Siklus tertutup menggunakan cairan khusus yang umumnya bekerja sebagai refrigeran, misalnya ammonia. Siklus terbuka menggunakan air yang dipanaskan sebagai cairan yang bekerja di dalam siklusnya.
Prinsip Kerja Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC)
Secara sederhana dapat disebutkan bahwa OTEC bekerja dengan memanfaatkan perbedaan temperatur untuk membangkitkan tenaga listrik dengan cara memanfaatkannya untuk menguapkan Ammonia atau Freon. Tekanan uap yang timbul kemudian dipergunakan untuk memutar turbin.



Adapun prinsip kerja dari OTEC secara umum adalah:
1. Konversi energi panas laut atau OTEC menggunakan perbedaan temperatur antara permukaan yang hangat dengan air laut dalam yang dingin, minimal sebesar 77 derajat Fahrenheit (25°C) agar bisa digunakan untuk membangkitkan listrik.
2. Laut menyerap panas yang berasal dari matahari. Panas matahari membuat permukaan air laut lebih panas dibandingkan air di dasar laut. Hal ini menyebabkan air laut bersirkulasi dari dasar ke permukaan. Sirkulasi air laut ini juga dapat dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin dan menghasilkan energi listrik.
3. Dalam beroperasinya OTEC, pipa-pipa akan ditempatkan di laut yang berfungsi untuk menyedot panas laut dan mengalirkannya ke dalam tangki pemanas guna mendidihkan fluida kerja. Umumnya digunakan ammonia sebagai fluida kerja karena mudah menguap. Dari uap fluida tersebut selanjutnya akan digunakan untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik. Selanjutnya, uap fluida dialirkan ke ruang kondensor. Didinginkan dengan memanfaatkan air laut bersuhu 5 derajat Celcius. Air hasil pendinginan kemudian dikeluarkan kembali ke laut. Begitu siklus seterusnya.

Jenis Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC)
1. Closed-Cycle (Siklus Tertutup):
Closed-cycle system menggunakan fluida dengan titik didih rendah,seperti ammonia, untuk memutar turbin guna membangkitkan listrik. Air laut permukaan yang hangat dipompa melewati sebuah heat exchanger (penukar panas) di mana fluida dengan titik didih rendah tadi diuapkan. Fluida yang mengalami perubahan wujud menjadi uap akan mengalami peningkatan tekanan. Uap bertekanan tinggi ini kemudian dialirkan ke turbin untuk menghasilkan listrik. Kemudian air dingin dari dasar lautan dipompa melewati heat exchanger yang kedua, mengembunkan hasil penguapan tadi menjadi fluida lagi, di mana siklus ini berputar terus menerus.



2. Open-Cycle (Siklus Terbuka):
Open-Cycle OTEC menggunakan air laut permukaan yang hangat untuk membangkitkan listrik. Ketika air laut hangat dipompakan ke dalam kontainer bertekanan rendah, air ini mendidih. Uap yang mengembang menggerakkan turbin tekanan rendah untuk membangkitkan listrik. Uap ini,meninggalkan garam-garam di belakang kontainer. Jadi uap ini hampir merupakan air murni. Uap ini kemudian dikondensasikan kembali dengan menggunakan suhu dingin dari air dasar laut.


3. Hybrid System (Siklus Gabungan):
Siklus hybrid menggunakan keunggulan sistem siklus terbuka dan tertutup. Siklus hybrid menggunakan air laut yang diletakkan di tangki bertekanan rendah (vacuum chamber) untuk dijaikan uap. Lalu uap tersebut digunakan untuk menguapkan fluida bertitik didih rendah (amonia atau yang lainnya) yang akan menggerakkan turbin guna menghasilkan listrik. Uap air laut tersebut lalu dikondensasikan untuk menghasilkan air tawar desalinasi.



Kekurangan dan Kelebihan

Kelebihan:
• Tidak menghasilkan gas rumah kaca ataupun limbah lainnya.
• Tidak membutuhkan bahan bakar.
• Biaya operasi rendah.
• Produksi listrik stabil.
• Dapat dikombinasikan dengan fungsi lainnya: menghasilkan air pendingin, produksi air minum, suplai air untuk aquaculture, ekstraksi mineral, dan produksi hidrogen secara elektrolisis.

Kekurangan:
• Belum ada analisa mengenai dampaknya terhadap lingkungan.
• Jika menggunakan amonia sebagai bahan yang diuapkan menimbulkan potensi bahaya kebocoran.
• Efisiensi total masih rendah sekitar 1%-3%.
Energi sebagaimana namanya adalah komponen terpenting dalam aktivitas manusia. Energi memiliki bentuk yang beragam, thermal, mekanik, elektrik dan lain-lain. Dan saat ini bentuk energi yang umum digunakan adalah listrik. Hampir semua peralatan-peralatan yang digunakan manusia menggunakan energi listrik.
Akan tetapi distribusi energi listrik tidaklah mudah. Belum semua penduduk dunia mendapatkan akses jaringan listrik. Fakta menunjukkan bahwa sebesar 56% atau 1,7 milyar penduduk dunia tidak mendapatkan akses terhadap listrik (World Energi Assessment, 2000) . Di Indonesia pun demikian, distribusi jaringan listrik masih belum merata. Setelah Indonesia berusia 61 tahun (tahun 2007), PLN baru mampu melistriki 33 juta rumah tangga atau setara dengan rasio elektrifikasi 55 persen . Masih banyak daerah-daerah terpencil yang belum mendapatkan fasilitas jaringan listrik. Daerah-daerah tersebut biasanya adalah daerah pegunungan ataupun pulau-pulau terpencil. Di lain sisi Indonesia kaya akan energi terbarukan yang berasal dari laut, karena dua pertiga luas wilayah Indonesia adalah laut. Jadi solusi bagi warga-warga yang tinggal di daerah terpencil adalah memanfaatkan energi luat yang melimpah. Energi laut sendiri memiliki berbagai macam bentuk. Untuk pemanfaatan di daerah pesisir sendiri, bentuk yang paling feasible adalah energi angin, energi gelombang laut dan energi pasang surut. Ketiga bentuk energi tersebut juga hampir selalu ada sepanjang waktu di daerah-daerah tersebut. Baik malam maupun siang. Dan sebaiknya alat konversi energi tersebut diintegrasikan menjadi satu. Pembuatan unit energi laut yang terpadu tersebut cukup mudah dan murah. Tidak memerlukan teknologi yang cukup tinggi dan mudah untuk dipelajari. Siapapun bisa mempelajari dan mengaplikasikannya. Jika mau membeli pun, di pasaran banyak beredar dengan harga yang cukup terjangkau.


Pertama-tama, ketiga energi tersebut dikonversi menjadi energi listrik AC. Energi angin dikonversi dengan turbin angin. Energi gelombang dengan generator buoy, yakni generator yang memanfaatkan gerakan linear magnet, keatas dan kebawah, yang disebabkan oleh gelombang laut dan merubahnya menjadi listrik dengan memanfaatkan perubahan induksi magnet. Sedangkan energi pasang surut (tidal), dikonversi dengan TAPCHAN wave energi device, ditemukan oleh Boyle pada tahun 1996. Alat konversi energi untuk masing-masing energi tersebut dapat digunakan dengan alat konversi jenis lain.
Kemudian, setelah dikonversi menjadi listrik AC, kemudian dirubah menjadi listrik DC untuk kemudian disimpan di baterai DC. Dari baterai DC tersebut, saat dibutuhkan akan mendistribusikannya ke rumah warga dengan sebelumnya di rubah kembali menjadi arus AC dengan tegangan standar yakni 220 volt.
Nantinya aplikasi unit ini selain bisa digunakan di pulau-pulau terpencil, bisa juga diaplikasikan di daerah-daerah pesisir. Dengan demikian selain bisa menghasilkan energi bagi warga yang tinggal di pulau terpencil, bisa juga megurangi ketergantungan terhadap energi berbahan bakar fosil.
Pemanfaatan Energi Laut 2: Pasang Surut
Konon, menurut sebuah lagu, nenek moyang kita berprofesi sebagai pelaut. Mereka menyadari bahwa laut memiliki potensi yang besar, yaitu ikan, tanaman laut, harta karun, dan masih banyak lagi.
Lagunya adalah:
Nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samud’ra Menerjang ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa.
Angin bertiup layar terkembang, ombak berdebur di tepi pantai
Pemuda b’rani bangkit sekarang, ke laut kita beramai-ramai – Ibu Sud
Kini kita pun mengetahui bahwa laut mengandung potensi sebagai salah satu sumber energi terbarukan; dan berkat kemajuan teknologi potensi tersebut dapat diwujudkan.
Energi yang berasal dari laut (ocean energy) dapat dikategorikan menjadi tiga macam:
1. energi ombak (wave energy),
2. energi pasang surut (tidal energy),
3. hasil konversi energi panas laut (ocean thermal energy conversion).
Prinsip sederhana dari pemanfaatan ketiga bentuk energi itu adalah: memakai energi kinetik untuk memutar turbin yang selanjutnya menggerakkan generator untuk menghasilkan listrik. Artikel kali ini ialah bagian kedua dari tiga artikel yang membahas tentang energi yang dapat dimanfaatkan dari laut. Di bagian kedua trilogi artikel ini, energi pasang surut (tidal energy) akan dibahas.
Energi Pasang Surut

Gambar 3. Ombak masuk ke dalam muara sungai ketika terjadi pasang naik air laut.
Pasang surut menggerakkan air dalam jumlah besar setiap harinya; dan pemanfaatannya dapat menghasilkan energi dalam jumlah yang cukup besar. Dalam sehari bisa terjadi hingga dua kali siklus pasang surut. Oleh karena waktu siklus bisa diperkirakan (kurang lebih setiap 12,5 jam sekali), suplai listriknya pun relatif lebih dapat diandalkan daripada pembangkit listrik bertenaga ombak. Namun demikian, menurut situs darvill.clara.net, hanya terdapat sekitar 20 tempat di dunia yang telah diidentifikasi sebagai tempat yang cocok untuk pembangunan pembangkit listrik bertenaga pasang surut ombak.
Pada dasarnya ada dua metodologi untuk memanfaatkan energi pasang surut:

Gambar 4. Ketika surut, air mengalir keluar dari dam menuju laut sambil memutar turbin.
Dam pasang surut (tidal barrages)
Cara ini serupa seperti pembangkitan listrik secara hidro-elektrik yang terdapat di dam/waduk penampungan air sungai. Hanya saja, dam yang dibangun untuk memanfaatkan siklus pasang surut jauh lebih besar daripada dam air sungai pada umumnya. Dam ini biasanya dibangun di muara sungai dimana terjadi pertemuan antara air sungai dengan air laut. Ketika ombak masuk atau keluar (terjadi pasang atau surut), air mengalir melalui terowongan yang terdapat di dam. Aliran masuk atau keluarnya ombak dapat dimanfaatkan untuk memutar turbin (Lihat gambar 3 dan 4).

Gambar 5. PLTPs La Rance, Brittany, Perancis.
Gambar atas menampilkan aliran air dari kiri ke kanan. Gambar sebelah kiri bawah menampilkan proyek dam ketika masih dalam masa konstruksi. Gambar kanan menampilkan proses perakitan turbin dan baling-balingnya. Photo credit: Popular Mechanics, December 1997.
Pembangkit listrik tenaga pasang surut (PLTPs) terbesar di dunia terdapat di muara sungai Rance di sebelah utara Perancis. Pembangkit listrik ini dibangun pada tahun 1966 dan berkapasitas 240 MW. PLTPs La Rance didesain dengan teknologi canggih dan beroperasi secara otomatis, sehingga hanya membutuhkan dua orang saja untuk pengoperasian pada akhir pekan dan malam hari. PLTPs terbesar kedua di dunia terletak di Annapolis, Nova Scotia, Kanada dengan kapasitas “hanya” 16 MW.
Kekurangan terbesar dari pembangkit listrik tenaga pasang surut adalah mereka hanya dapat menghasilkan listrik selama ombak mengalir masuk (pasang) ataupun mengalir keluar (surut), yang terjadi hanya selama kurang lebih 10 jam per harinya. Namun, karena waktu operasinya dapat diperkirakan, maka ketika PLTPs tidak aktif, dapat digunakan pembangkit listrik lainnya untuk sementara waktu hingga terjadi pasang surut lagi.
Turbin lepas pantai (offshore turbines)
Pilihan lainnya ialah menggunakan turbin lepas pantai yang lebih menyerupai pembangkit listrik tenaga angin versi bawah laut. Keunggulannya dibandingkan metode pertama yaitu: lebih murah biaya instalasinya, dampak lingkungan yang relatif lebih kecil daripada pembangunan dam, dan persyaratan lokasinya pun lebih mudah sehingga dapat dipasang di lebih banyak tempat.
Beberapa perusahaan yang mengembangkan teknologi turbin lepas pantai adalah: Blue Energy dari Kanada, Swan Turbines (ST) dari Inggris, dan Marine Current Turbines (MCT) dari Inggris. Gambar hasil rekaan tiga dimensi dari ketiga jenis turbin tersebut ditampilkan dalam Gambar 6.

Gambar 6. Bermacam-macam jenis turbin lepas pantai yang digerakkan oleh arus pasang surut. Gambar sebelah kiri (1): Seagen Tidal Turbines buatan MCT. Gambar tengah (2): Tidal Stream Turbines buatan Swan Turbines. Gambar kanan atas (3): Davis Hydro Turbines dari Blue Energy. Gambar kanan bawah (4): skema komponen Davis Hydro Turbines milik Blue Energy. Picture credit: (1) marineturbines.com, (2) swanturbines.co.uk, (3) & (4) bluenergy.com.
Teknologi MCT bekerja seperti pembangkit listrik tenaga angin yang dibenamkan di bawah laut. Dua buah baling dengan diameter 15-20 meter memutar rotor yang menggerakkan generator yang terhubung kepada sebuah kotak gir (gearbox). Kedua baling tersebut dipasangkan pada sebuah sayap yang membentang horizontal dari sebuah batang silinder yang diborkan ke dasar laut. Turbin tersebut akan mampu menghasilkan 750-1500 kW per unitnya, dan dapat disusun dalam barisan-barisan sehingga menjadi ladang pembangkit listrik. Demi menjaga agar ikan dan makhluk lainnya tidak terluka oleh alat ini, kecepatan rotor diatur antara 10-20 rpm (sebagai perbandingan saja, kecepatan baling-baling kapal laut bisa berkisar hingga sepuluh kalinya).
Dibandingkan dengan MCT dan jenis turbin lainnya, desain Swan Turbines memiliki beberapa perbedaan, yaitu: baling-balingnya langsung terhubung dengan generator listrik tanpa melalui kotak gir. Ini lebih efisien dan mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan teknis pada alat. Perbedaan kedua yaitu, daripada melakukan pemboran turbin ke dasar laut ST menggunakan pemberat secara gravitasi (berupa balok beton) untuk menahan turbin tetap di dasar laut.
Adapun satu-satunya perbedaan mencolok dari Davis Hydro Turbines milik Blue Energy adalah poros baling-balingnya yang vertikal (vertical-axis turbines). Turbin ini juga dipasangkan di dasar laut menggunakan beton dan dapat disusun dalam satu baris bertumpuk membentuk pagar pasang surut (tidal fence) untuk mencukupi kebutuhan listrik dalam skala besar.
Berikut ini disajikan secara ringkas kelebihan dan kekurangan dari pembangkit listrik tenaga pasang surut:
Kelebihan:
• Setelah dibangun, energi pasang surut dapat diperoleh secara gratis.
• Tidak menghasilkan gas rumah kaca ataupun limbah lainnya.
• Tidak membutuhkan bahan bakar.
• Biaya operasi rendah.
• Produksi listrik stabil.
• Pasang surut air laut dapat diprediksi.
• Turbin lepas pantai memiliki biaya instalasi rendah dan tidak menimbulkan dampak lingkungan yang besar.
Kekurangan:
• Sebuah dam yang menutupi muara sungai memiliki biaya pembangunan yang sangat mahal, dan meliputi area yang sangat luas sehingga merubah ekosistem lingkungan baik ke arah hulu maupun hilir hingga berkilo-kilometer.
• Hanya dapat mensuplai energi kurang lebih 10 jam setiap harinya, ketika ombak bergerak masuk ataupun keluar.
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
1. bahwa untuk menjamin keamanan pasokan energi dalam negeri dan untuk
mendukung pembangunan yang berkelanjutan, perlu menetapkan Kebijakan Energi
Nasional sebagai pedoman dalam pengelolaan energi nasional;
2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu
menetapkan Peraturan Presiden tentang Kebijakan Energi Nasional;
Menimbang:
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan (LN RI Tahun 1967 No. 22, TLN Nomor 2831);
3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (LN RI Tahun
1985 Nomor 23, TLN RI Nomor 3317);
4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran (LN RI Tahun
1997 Nomor 23, TLN RI Nomor 3676);
5. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (LN RI
Tahun 2001 Nomor 136, TLN RI Nomor 4152) sebagaimana telah berubah
berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 tanggal 21
Desember 2004 (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2005);
6. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi (LN RI Tahun 2003
Nomor 115, TLN RI Nomor 4327);
7. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional 9LN RI Tahun 2004 Nomor 104, TLN RI Nomor 4421);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PRESIDEN TENTANG KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL.
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan:
1. Energi adalah daya yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai proses kegiatan meliputi listrik, mekanik dan panas.
2. Sumber energi adalah sebagian sumber daya alam antara lain berupa minyak dan gas bumi , batubara, air, panas bumi, gambut, biomassa dan sebagainya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat dimanfaatkan sebagai energi.
3. Sumber energi alternatif tertentu adalah jenis sumber tertentu pengganti Bahan Bakar Minyak.
4. Energi baru adalah bentuk energi yang dihasilkan oleh teknologi baru baik yang berasal dari energi terbarukan maupun energi tak terbarukan, antara lain: hidrogen, coal bed methane, batubara yang dicairkan (liquiefied coal), batubara yang digaskan (gasified coal), dan nuklir.
5. Energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumberdaya energi yang secara alamiah tidak akan habis dan dapat berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain panas bumi, bahan bakar nabati (biofuel), aliran sungai, panas surya, angin, biomassa, biogas, ombak laut, dan suhu kedalaman laut.
6. Diversifikasi energi adalah penganekaragaman penyediaan dan pemanfaatan berbagai sumber energi dalam rangka optimasi penyediaan energi.
7. Konservasi energi adalah penggunaan energi secara efisien dan rasional tanpa mengurangi penggunaan energi yang memang benar-benar diperlukan.
8. Elastisitas energi adalah rasio atau perbandingan antara tingkat pertumbuhan konsumsi energi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi.
9. Harga keekonomian adalah biaya produksi per unit energi termasuk biaya lingkungan ditambah biaya margin.
TUJUAN DAN SASARAN KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL
Pasal 2
(1) Kebijakan Energi Nasional bertujuan untuk mengarahkan upaya-upaya dalam mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri.
(2) Sasaran Kebijakan Energi Nasional adalah:
a. Tercapainya elastisitas energi lebih kecil dari 1 (satu) pada tahun 2025
b. Terwujudnya energi (printer) mix yang optimal pada tahun 2025, yaitu peranan masing-masing jenis energi terhadap konsumsi energi nasional:
1) minyak bumi menjadi kurang dari 20% (dua puluh persen).
2) Gas bumi menjadi lebih dari 30% (tiga puluh persen).
3) Batubara menjadi lebih dari 33% (tiga puluh tiga persen).
4) Bahan bakar nabati (biofuel) menjadi lebih dari 5% (lima persen).
5) Panas bumi menjadi lebih dari 5% (lima persen).
6) Energi baru dan energi terbarukan lainnya, khususnya biomassa, nuklir,
tenaga air, tenaga surya, dan tenaga angin menjadi lebih dari 5% (lima
persen).
7) Batubara yang dicairkan (liquefied coal) menjadi lebih dari 2% (dua persen).
LANGKAH KEBIJAKAN
Pasal 3
(1) Sasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dicapai melalui kebijakan utama dan kebijakan pendukung.
(2) Kebijakan utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Penyediaan energi melalui:
1) penjamin ketersediaan pasokan energi dalam negeri;
2) Pengoptimalan produksi energi;
3) Pelaksanaan konservasi energi;
b. Pemanfaatan energi melalui:
1) efisiensi pemanfaatan energi;
2) diversifikasi energi.
c. Penetapan kebijakan harga energi ke arah harga keekonomian, dengan tetap mempertimbangkan kemampuan usaha kecil, dan bantuan bagi masyarakat tidak mampu dalam jangka waktu tertentu.
d. Pelestarian lingkungan dengan menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan.
(3) Kebijakan pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengembangan infrastruktur energi termasuk peningkatan akses konsumen terhadap energi;
b. kemitraan pemerintah dan dunia usaha;
c. pemberdayaan masyarakat;
d. pengembangan penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan pelatihan.
Pasal 4
(1) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menetapkan Blueprint Pengelolaan Energi
Nasional setelah dibahas dalam Badan Koordinasi Energi Nasional.
(2) Blueprint pengelolaan Energi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat
sekurang-kurangnya:
a. Kebijakan mengenai jaminan keamanan pasokan energi dalam negeri
b. Kebijakan mengenai kewajiban pelayanan publik (public service obligation).
c. Pengelolaan sumber daya energi dan pemanfaatannya.
(3) Blueprint sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar bagi penyusunan pola
pengembangan dan pemanfaatan masing-masing jenis energi.
HARGA ENERGI
Pasal 5
(1) Harga energi disesuaikan secara bertahap sampai batas waktu tertentu menuju harga keekonomiannya.
(2) Pentahapan dan penyesuaian harga energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberikan dampak optimum terhadap diversifikasi energi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai harga energi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dan bantuan bagi masyarakat tidak mampu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
PEMBERIAN KEMUDAHAN DAN INSENTIF
Pasal 6
(1) Menteri Energi Sumber Daya Mineral menetapkan sumber energi alternatif tertentu.
(2) Pemerintah dapat memberikan kemudahan dan insentif kepada pelaksana konservasi
energi dan pengembangan sumber energi alternatif tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kemudahan dan insentif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri terkait sesuai dengan
kewenangan masing-masing.
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 7
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.